Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BANYAK negara di dunia menargetkan lansia sebagai penerima vaksin Covid-19 setelah para pejabat dan tenaga kesehatan yang berperan sebagai garda terdepan menghadapi pandemi.

Para ahli mengatakan diperlukan 60 – 70 persen populasi global yang memiliki imunitas untuk menghentikan penyebaran virus corona. Angka tersebut dipastikan akan bertambah bila varian baru virus corona makin menyebar luas.

Namun yang dilakukan Indonesia berbeda. Seperti diberitakan BBC, Indonesia memilih menargetkan masyarakat usia bekerja: 18 – 59 tahun. Indonesia menggulirkan vaksinasi gratis bagi masyarakat untuk menyetop penyebaran virus sekaligus membangkitkan perekonomiannya.

Dengan tutupnya perkantoran dan sekolah selama hampir satu tahun serta pemberlakuan PSBB, ekonomi Indonesia sangat terdampak karena lebih dari separuh populasinya bekerja di sektor informal.

Presiden Joko Widodo, Rabu (13/02/2021) menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat vaksin. Namun vaksin tidak diberikan kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang kini berusia 77 tahun.

Mengapa Indonesia memilih pendekatan yang berbeda dari negara-negara lain?

Prof. Amin Soebandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, berpendapat bahwa pendekatan tersebut masuk akal mengingat warga usia produktif adalah mereka yang keluar rumah untuk bekerja dan bepergian ke beberapa tempat dalam satu hari sebelum kembali ke keluarga mereka di rumah. "Kami menargetkan mereka yang berpotensi menjadi penyebar virus," ujar Prof. Amin.

Dengan demikian, Indonesia diharapkan dapat memiliki herd immunity. Yaitu sebuah kondisi yang tercipta ketika sebagian besar masyarakat memiliki imunitas melalui vaksin.

Menurut Prof. Amin, kondisi tersebut adalah tujuan jangka panjang. Ada pun saat ini, tujuan utama adalah mengurangi penyebaran virus secara signifikan agar pandemi dapat dikendalikan dan ekonomi bisa bangkit. Benarkah Indonesia memilih pendekatan pragmatis?

Dengan total populasi 270 juta jiwa, Indonesia kini menempati posisi teratas penyebaran Covid-19 secara komulatif di wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan data pemerintah, mayoritas kasus (80 persen) diderita populasi pekerja.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa strategi vaksin bukan semata demi menyelamatkan perekonomian negara tapi jauh lebih penting lagi: melindungi rakyat dengan memprioritaskan mereka yang berpotensi menyebarkan virus.

Seperti diketahui, dalam perjalanan pergi-bekerja-pulang yang dilakukan para pekerja, mereka bertemu banyak orang dan bisa berpindah ke beberapa tempat. Lebih jauh, pemerintah juga menegaskan bahwa menargetkan usia produktif sebagai penerima vaksin juga satu langkah melindungi para lansia.

Dr. Siti Nadia Tirmizi, juru bicara Kementerian Kesehatan untuk program vaksinasi Covid-19, menambahkan bahwa memproteksi masyarakat usia bekerja bertujuan agar mereka tidak membawa virus ke rumah hingga para orangtua maupun nenek-kakek yang berada di rumah lebih aman.

Seperti diketahui, mayoritas lansia di Indonesia tinggal di rumah lintas generasi. Mengisolasi para lansia jauh dari anak dan cucu mereka bisa dikatakan sebagai satu hal yang hampir tidak mungkin dilakukan.

Salah satu negara yang melakukan pendekatan berbeda adalah Inggris. Prof. Robert Read, anggota Komite Vaksinasi dan Imunisasi (JCVI) yang juga salah satu penasihat imunisasi Inggris menyatakan 2 alasan mengapa Inggris tidak memilih mendahulukan para lansia.

"Pertama, para pemuda tidak memiliki penyakit berat. Dan kedua, kami belum mengetahui apakah vaksin ini berdampak beragam cara penularan virus," ujar Prof. Robert.

Menurut Prof. Robert, pendekatan yang dilakukan Indonesia memerlukan jumlah vaksin yang sangat besar, setidaknya 50 persen dari total populasi, untuk bisa menyetop dampak virus kepada para lansia.

"Jika cakupan penerima vaksin di Indonesia sangat besar bisa saja akan berimbas pada penularan virus, meskipun saat ini belum bisa dipastikan."

Sedangkan Prof. Peter Collignon dari Australian National University mengatakan bahwa strategi vaksinasi bisa disesuaikan dengan kondisi sebuah negara. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan Indonesia memang belum bisa diketahui efektivitasnya dan masih perlu dievaluasi, tapi bukan berarti salah.

"Saya memahami bagaimana kebijakan melindungi masyarakat usia produktif bekerja menjadi metode yang masuk akal bagi sebuah negara berkembang. Bagaimana pun juga, pemerintah tidak bisa memaksa rakyat untuk berdiam di rumah (tidak bekerja-red)."

Hal tersebut disetujui Prof. Robert. Menurutnya, negara-negara kaya di Barat tidak bisa memaksakan satu strategi tertentu. Pendekatan yang dilakukan Indonesia mungkin hal yang benar bagi kondisi Indonesia.

Lagipula, tidak ada seorang pun yang merasa yakin apa yang benar untuk dilakukan pada saat ini. Yang terpenting, usaha yang dilakukan memiliki alasan rasional, konsisten dalam pelaksanaannya, dan sigap mengantisipasi berbagai perubahan.

 

 




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News