KOMENTAR

SAMBIL menatap gundukan tanah merah di makam, bocah itu bertanya, “Apa Bunda tidak ikut pulang?”

Neneknya mengusap airmata dan berkata, “Tidak, Sayang!”

Kecelakaan  itu meremukkan mobil, sang ayah meninggal di tempat. Setelah berminggu-minggu koma, giliran sang Bunda yang berpulang ke rahmatullah. Bocah itu bingung ayah ibunya pulangnya bukan ke rumah, malah dikubur dalam tanah.

Pada suatu hari, bocah itu terbangun tengah malam dan berseru, “Nek, ayo ke tempat Bunda.”
Nenaknya tergagap, “Tidak boleh, Sayang!”

Bocah itu berkata, “Bunda kan takut sepi. Ayo kita temani! Kasihan Bunda!”

Perempuan tua itu berlinang airmata.

Mengajari anak-anak tentang kehidupan saja bukanlah urusan yang mudah, apalagi memberikan pemahaman tentang kematian. Bagaimana bisa bocah mungil itu mencerna tentang ajal, sakaratul maut, alam Barzakh, hari berbangkit, Yaumul Hisab, surga atau neraka?

Nenek itu telah tua renta. Tetapi ia pun tidak benar-benar yakin telah memahami konsep kematian. Mati tetap menjadi misteri yang sulit diungkap. Meski telah banyak ilmuwan yang meninggal dunia, belum seorang pun yang kembali lagi untuk menguraikan hakikat kematian.

Namun, anak-anak mau tidak mau perlu mengenali kematian, bahkan sebelum hal itu menimpa ayah ibunya atau anggota keluarga yang terdekat lainnya. Ketika ada tetangga yang wafat misalnya, atau siapa saja yang meninggal dunia, ketika itu anak perlu tahu bahwa selain kehidupan ada lagi fase kematian.

Tetapi, bagaimana caranya?

Singgih D. Gunarsa dalam buku Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Anak menerangkan, bahwa rentang usia 9 tahun sampai dengan 10 tahun, anak memasuki tahap kesadaran akan kematian. Anak menyadari kematian tidak hanya suatu akhir kehidupan, tetapi juga merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.

Umumnya sebelum anak berusia 9 tahun, ia akan sulit memahami konsep kematian. Namun pada usia-usia sebelumnya, walaupun anak belum memahami konsep kematian, anak tetap dapat terpengaruh oleh tidak hadirnya seseorang yang dekat dengannya.

Fitzhugh Dodson dalam buku How to Discipline with Love, bahwa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak prasekolah tidak dapat memahami kematian sebagai suatu kejadian terakhir. Bagi mereka kematian adalah semacam tidur. Orang yang mati akan hidup lagi, seperti orang bangun dari tidur. Inilah kesulitan dalam menerangkan kematian kepada anak berusia lima tahun.

Berkata yang sebenarnya mungkin merupakan satu-satunya pedoman paling penting. Apa sesungguhnya mencemaskan seorang anak ialah bila ia merasa bahwa orang dewasa itu suka mengelak dan menyembunyikan informasi darinya.

Apapun keyakinan Anda tentang kematian sampaikanlah itu apa adanya. Kalau Anda jujur dengannya, separuh pertempuran sudah Anda menangkan.

Nabi Muhammad langsung menjadi anak yatim sejak lahir ke dunia. Tidak pernah dikenalinya wajah ayahanda. Dan betapa berat baginya menjalani masa kecil, di saat teman-teman sebaya bergelayut manja dengan ayah masing-masing. Dan konsep kematian itu pada usia amat dini telah harus diterimanya.

Ibunya, Aminah telah mengajarkan konsep kematian itu dengan berterus-terang. Bahkan, pada usia Nabi Muhammad ke 6 tahun, bocah itu dibawa menempuh perjalanan amat jauh dari Mekkah ke Yatsrib atau Madinah, untuk berziarah ke makam ayahanda tercinta. Dan pada usia 6 tahun pula, sepulang dari ziarah, beliau menyaksikan ibunda Aminah pun meninggal dunia dan dimakamkan di Abwa.

Selanjutnya Nabi Muhammad diasuh oleh kakek tercinta, Abdul Muthalib. Dalam dekapan cintanya, sang kakek pun meninggal dunia ketika Nabi Muhammad berusia 8 tahun. Sungguh rentetan kematian itu menjadi ujian psikologis yang amat berat bagi seorang bocah kecil, secara beruntun kehilangan sosok yang amat dicintai.

Pada usia amat belia Nabi Muhammad mau tidak mau harus menerima konsep kematian. Dan kejadian berat itu tidaklah merusak diri dan kehidupannya.

Jangan bersikap difensif terhadap anak-anak yang bertanya atau mempertanyakan  kematian, sebab urusan mati memang misteri Ilahi. Sebisanya kita menerangkan, maka kejujuran adalah pilihan yang lebih baik. Hingga akal anak itu dapat mencerna kematian sebagai kejadian yang amat alamiah.

Dari pengalaman hidup Rasulullah itu kita tidak perlu cemas dengan anak-anak yang menghadapi kematian. Toh, Nabi Muhammad berhasil melalui itu, mencernanya dengan baik lalu menjadi manusia hebat.
    

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur