Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Mantan #1:    

“Ah, andai dulu kami menikah.” Berbilang tahun kalimat itu terus diulang-ulangnya, seperti menjadi menu wajib bagi teman-teman sekantor.

Kini lelaki itu telah menjadi pakar ekonomi, dan punya jabatan menterang di lembaga keuangan di Amerika. Dia telah menyandang gelar doktor di usia muda, di kampus papan atas di bumi ini. Cerita tentang lelaki itu selalu bagus dan hebat.

Lalu, kenapa tidak menikah dengannya? Perempuan itu mengenang, “Orangtuanya tidak setuju. Dia dijodohkan dengan yang lain.”

Salah seorang teman berkata, “Artinya, lelaki itu tidak benar-benar mencintaimu.”

Perempuan itu menyanggah, “Dia benar-benar cinta. Dia sendiri yang bilang.”

Teman itu berkata, “Kalau benar-benar cinta, tentulah dia akan memperjuangkan dirimu habis-habisan.”

Dan suami perempuan itu yang memikul beratnya beban. Dia didesak berkuliah ke luar negeri guna meraih gelar akademik tinggi. Suaminya itu pedagang sukses dan kebingungan dengan gelar doktor yang diraihnya demi desakan istri, yang sering teringat mantan.

Mantan #2:

Facebook yang kini sering memberinya kabar. Meski tidak pernah lagi berkontak selama belasan tahun, ia mengetahui banyak hal tentang mantannya. Dulu sejatinya mereka sudah bersiap ke jenjang pernikahan, orangtua pun mendukung.

Tetapi dirinya tidak mampu mengontrol emosi, dan tidak mampu menata kata-kata ketika marah. Lelaki itu amat terkenal, penggemarnya banyak dan tentunya mayoritas kaum hawa.

Sebagai orang yang amat populer, berbagai gosip dan fitnah pun mengitarinya. Justru perempuan tersebut tidak mampu mengendalikan diri, berkali-kali marah dan bersikap kasar.

Lelaki itu tidak pernah membalas dengan kemarahan, dan tetap tenang. Hingga perempuan itu berkata, “Kenapa Abang penyabar sekali.”

Bukannya memperbaiki diri, atas nama cinta, perempuan itu terus saja bersikap kasar. Makin lama kata-katanya makin menyakitkan hati. Dan lelaki itu tetap sabar dan selalu sabar. Sebagai calon istri, perempuan itu makin mantap telah menemukan pilihan yang tepat.

Tetapi dia lupa, sabar itu ada batasnya. Tiba-tiba saja lelaki itu memutuskan hubungan. Berulangkali perempuan itu meyakinkan dirinya akan berubah, tetapi lelaki itu terlanjur merasa sakit, lalu pergi mengejar mimpinya.

Sekalipun dirinya telah menikah dan punya anak, rasa sesal itu masih saja menggores luka di hatinya. Lelaki yang hebat itu makin cemerlang di pentas dunia, amat jauh dengan suaminya yang hanya pegawai biasa di kota kecil. Setiap kali melihat facebook, penyesalan itu makin menyayat hati.

Selagi kita memiliki otak yang berkinerja baik, maka teringat mantan itu akan sangat mungkin terjadi. Kalau sekadar teringat itu kan biasa saja, tetapi jika ingatan itu dibarengi dengan berbagai jenis perasaan yang bikin hati gundah-gulana, tentulah akan merepotkan kehidupan yang sudah banyak masalah ini.

Apalagi jika yang menyertainya adalah penyesalan yang menggoreskan luka berulang-ulang. Padahal dirinya telah menjadi milik orang lain, dan waktu tidak mungkin dilipat ke belakang. Maka penyesalan macam itu tiada lagi berguna, hanya menghasilkan rasa sakit.

Malangnya, rasa sakit itu dipikul pula oleh pasangan kita yang sah. Dia dipaksa untuk menjadi seperti mantan, hingga seorang pedagang pun terpaksa menggondol gelar doktor. Itu pun belum memuaskan sang istri.

Dan siapapun tahu betapa sakit rasanya dibanding-bandingkan. Lagi pula mana ada manusia yang mampu menyamai orang lain, tiap orang berbeda kelebihan dan kekurangannya.

Uniknya, kini mulai marak kelas-kelas yang membimbing orang untuk melupakan mantan, mulai dari yang gratis hingga yang berbayar. Tampaknya, teringat mantan sudah menjadi masalah pelik, hingga orang pun membutuhkan pertolongan pihak di luar dirinya.

Padahal melupakan itu belum tentu pula solusi yang ideal. Sekarang berhasil melupakan, tapi begitu nanti teringat mantan lagi kan masalahnya berputar-putar di sana saja. Lagi pula mana bisa kita benar-benar melupakan, kecuali kita telah kehilangan ingatan. Lantas bagaimana?

Ikhlaslah menerima takdir. Segala yang telah terjadi sudah menjadi bagian dari masa lalu. Pahit atau manis mestilah kita terima dengan lapang dada untuk lebih mendewasakan diri. Kita tidak akan bisa merubah masa lalu, tetapi dengan kenangan itu kita dapat melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan hari ini bersama pasangan yang sah.

Imam Al-Ghazali pada buku Minhajul Abidin menyebutkan, ulama mengatakan, bahwa ikhlas (rela) menerima takdir artinya tidak mengeluh menerima takdir. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwasanya seorang nabi mengadukan penderitaannya kepada Allah Swt.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur