'Berbisnis' dengan Allah itu bermodalkan kesempurnaan iman dan juga kesungguhan berjihad dengan harta dan jiwa/ Net
'Berbisnis' dengan Allah itu bermodalkan kesempurnaan iman dan juga kesungguhan berjihad dengan harta dan jiwa/ Net
KOMENTAR

'Berbisnis' dengan Allah Swt.?! Waduh, mendengarnya saja bikin merinding. Perniagaan macam apa yang dapat manusia lakukan dengan Tuhan, ketika diri kita ini hanyalah hamba yang tidak berdaya.

Agar dapat memahami model bisnis yang spektakuler ini, mari disimak kisah yang diungkapkan Imam As-Suyuthi dalam buku Tarikh Khulafa:

Tatkala kemarau yang ganas melanda Madinah, sumur-sumur menjadi kering, begitu pula dengan sumber air lainnya. Dan hanya sumur Rumat yang masih menyediakan air berlimpah dan menjadi tumpuan masyarakat. Akan tetapi mereka harus membayar mahal di setiap air yang diambil, karena pemiliknya seorang lelaki Yahudi lihai sekali mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Maka Nabi Muhammad bersabda, “Barangsiapa menggali (membeli) sumur Rumat, maka baginya surga.”

Usman bin Affan bergegas menemui pemiliknya dan berkata, “Maukah kamu menjual sumur Rumat kepadaku?”

Orang Yahudi itu tersenyum senang, karena dia tahu Usman bin Affan seorang yang kaya raya. Itu menjadi kesempatan baginya untuk memperoleh banyak keuntungan. Lelaki Yahudi itu berkata, “Aku mau saja menjual sumur ini. Tapi berapakah kamu sanggup membayarnya?”

Usman bin Affan langsung memberikan penawaran harga yang tinggi, “Sepuluh ribu dirham!”

Pria Yahudi itu tidak merasa cukup dengan sifat serakahnya, tetapi juga menunjukkan kelicikan yang buruk. Selain memperoleh banyak uang dari penjualan sumur, dia masih saja ingin mengeruk keuntungan dengan cara culas. Maka lelaki Yahudi itu mengajukan penawaran yang jahat, dia berkata, “Aku hanya mau menjual sumur ini seharga 12 ribu dirham. Tapi itu cuma separuhnya saja. Sumur ini kita bagi dua, sehari milikmu dan sehari lagi milikku. Setuju?”

Akal-akalan licik dari pria Yahudi itu telah dipahami dengan baik oleh Usman bin Affan. Tetapi, pria pemilik sumur itu lupa dirinya tengah berhadapan dengan saudagar ulung yang kenyang pengalaman internasional dan juga cemerlang pemikirannya. Lelaki Yahudi itu merasa amat senang, penjualan sumur dengan harga mahal tidak mengurangi keuntungannya dari penjualan air. Tanpa berbasa-basi lagi, Usman pun langsung menyetujui dan membayarnya lunas.

Kejutan itu langsung terjadi ketika Usman mengumumkan secara terbuka, bahwa siapapun dapat mengambil air sumur Rumat secara cuma-cuma. Pria Yahudi itu hanya dapat melongo tatkala penduduk Madinah berduyun-duyun datang mengambil air gratis. Mereka mengambil air lebih banyak untuk persediaan dua hari, karena masyarakat tahu esok hari sumur menjadi hak milik pria Yahudi.

Keesokan harinya, lelaki Yahudi itu gagal menjual air sumurnya, sekalipun dengan harga murah. Karena penduduk Madinah telah menyediakan persediaan air di rumah masing-masing. Kalau pun airnya hampir menipis, mereka pun tinggal bersabar hingga esok hari jatah sumurnya kembali menjadi milik Usman bin Affan.

Akhirnya lelaki Yahudi itu mengakui kecerdikan Usman bin Affan yang mengalahkan kelicikan dirinya. Dia tidak berkutik ketika Usman datang hendak membeli separuh lagi dari hak sumur tersebut. Lelaki Yahudi itu tak berdaya ketika Usman menawarkan dengan harga murah untuk separuh sisa sumurnya. Sekiranya sedari awal lelaki Yahudi itu menjual sumur Rumat dengan cara jujur, tentulah dirinya mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan.

Kepemilikan sepenuhnya atas sumur Rumat tidak mengubah keputusan Usman yang memberikannya secara cuma-cuma kepada masyarakat. Penduduk Madinah malah semakin bebas mengambil air kapan saja mereka membutuhkannya.

Usman bin Affan tidak memikirkan supaya modal dari biaya membeli sumur tersebut kembali lagi. Karena dirinya bukan berbisnis dengan manusia, melainkan dengan Allah. Begitulah kejadiannya, yang membuat Abu Hurairah menyebut Usman bin Affan telah “membeli” surga dengan sumur Rumat.

Informasi tentang peluang bisnis dengan Allah secara terang benderang disampaikan dalam surat ash-Shaff ayat 10-12, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu, kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung.”

Beberapa keunikan 'berbisnis' dengan Allah, di antaranya:

Pertama, pasti untung dan tidak mungkin rugi, tanpa memerlukan manajemen risiko karena tidak mungkin ada kerugian. Hanya dengan Allah keuntungan pasti diperoleh tanpa jebakan apapun. Manusia mana yang tidak akan tergiur, baru berbisnis langsung untung besar. Terlebih keuntungannya itu bukan hanya temporal atau sementara, melainkan selamanya alias abadi.

Kedua, balasannya hingga ke negeri akhirat, berupa diselamatkannya diri kita dari azab yang pedih, dan dibalasi pula dengan surga. Tidak ada bisnis dengan manusia yang mampu menandingi keuntungan yang demikian spektakuler begini.

Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah sangat mahal, dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah adalah surga.”  (HR. at-Tirmidzi)

Ketiga, naik level menjadi pebisnis kelas atas, karena Anda tengah berbisnis dengan Tuhan, bukan lagi dengan manusia biasa. Jangan hanya mau menjadi pebisnis kelas teri, dan jangan hanya bermimpi menjadi pengusaha kelas kakap atau pun konglomerat. Raihlah derajat tertinggi dengan menjadi pebisnis dengan Allah.

Demikian dahsyat keuntungan yang diperoleh, lantas bagaimana cara berbisnis dengan Allah? Apakah perlu menjadi konglomerat seperti Usman bin Affan? Tidak juga. Apakah lebih dulu menyiapkan modal besar? Tidak selalu begitu.

'Berbisnis' dengan Allah itu bermodalkan kesempurnaan iman dan juga kesungguhan berjihad dengan harta dan jiwa. Usman bin Affan menunjukkan kesempurnaan iman tatkala berkorban besar menyelamatkan penduduk Madinah dari krisis air. Dia mempersembahkan yang terbaik dari yang dimilikinya. Bukan hanya jagoan berjihad di medan tempur, Usman juga berjihad dengan hartanya, karena hakikat jihad adalah kesungguhan dalam beramal saleh.

Amalan saleh yang kita lakukan itulah yang 'dibisniskan' dengan Allah. Tentunya yang kita korbankan adalah yang terbaik dari yang dimiliki, bukannya recehan atau sampingan belaka. Dengan demikian barulah kita berhak mendapatkan surga dan selamat dari siksa yang pedih di neraka.

Namun, 'berbisnis' dengan Allah bukan berarti kita akan kehilangan dunia. Berkali-kali Usman bin Affan berbisnis dengan Allah, dan dirinya tergolong orang yang dijamin dengan surga, tetapi bukan berarti hidupnya sengsara. Status konglomerat muslim dengan kekayaan yang terus bertambah, itu menjadi bagian penting dari sejarah hidupnya.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur