Dahlan Iskan/Net
Dahlan Iskan/Net
KOMENTAR

Selama ''magang'' di Haji Rauf, Arief bisa mengumpulkan 2.000 ton kopra. Harga di sana Rp 18/kg, tapi Arief ingin menyikat habis seluruh kopra yang ada. Ia memberi harga lebih menarik: Rp 22/kg. Semua kopra pun lari ke Arief.

Kopra itu ia jual ke ayah di Surabaya dengan harga Rp 32/kg. Sang ayah setuju �"tanpa tahu berapa anaknya membeli dari petani.

Sang ayah lalu kirim L/C lokal. Tapi L/C itu tidak bisa diuangkan. Padahal petani menunggu di pulau Una Una.

Untung Arief bisa dansa. Misalnya cha-cha. Ia belajar dansa waktu di SMA. Kemampuan dansa itulah yang membuat Arief bisa mencairkan uang di L/C �"lewat bank yang pimpinannya minta diajari dansa.

Padahal Arief sudah pusing akibat bank penerima L/C tidak bisa mencairkannya.

Uang berkarung-karung itu dia bawa ke Una Una. Lunas. Kopra pun masuk gudang di Poso. Kunci gudang ia serahkan ke bank yang mencairkan L/C tersebut.

Arief pun mencarter kapal. Ia ikut naik kapal itu �"mengawal sendiri kopra 2.000 ton menuju Surabaya.

Arief untung Rp 10/kg. Ia bisa langsung membeli mobil sedan baru: Peugeot 504. Sang ayah kaget anak umur 18 tahun ini beli mobil baru.

"Kamu ambil untung ya" tegur sang ayah.

"Ya iyalah Pa. Kan harus untung," jawabnya.

Sang ayah tidak mempersoalkan lebih lanjut. Mungkin justru bangga di dalam dada. Setelah membeli mobil pun Arief masih punya kelebihan laba. Itu untuk modal membeli kopra lagi. Ia pun kembali ke Poso. Naik kapal lagi enam jam ke Una Una. Kembali dari Una Una yang kedua inilah Arif jatuh ke laut.

Ia trauma.

Itulah dagang kopra terakhir baginya. Kebetulan ia menemukan bisnis baru. Di umur 19 tahun. Yakni ketika Arief ke tempat temannya di Samarinda. Teman itu punya bengkel mobil. Di dekatnya ada orang ngelas. Arief merasa aneh kok ngelas tidak pakai karbit.

"Orang asing tidak suka bau karbit," jawab tukang las itu.

Itulah untuk kali pertama Arief melihat ada orang ngelas tidak pakai karbit. Arief tertarik dengan pengetahuan baru itu. Ia banyak bertanya kepada tukang las itu. Termasuk dari mana mendapat gas untuk ngelas itu.

"Ini barang impor," ujar tukang las itu.

Arief pun langsung melihat peluang: bikin bahan las itu di dalam negeri.

Ia sudah punya modal. Tapi tidak cukup. Ia ajak tiga teman sebayanya untuk kumpul-kumpul modal. Tidak juga cukup. Mereka sepakat mencari kredit bank.

Ayah Arief merestui tapi tidak mau gabung. Arief harus tanggung sendiri risiko masuk ke dunia industri. Sang ayah akan terus di sektor perdagangan.

Pabrik pun dibangun di Surabaya. Awalnya sulit diterima pasar. Sampai-sampai tiga temannya angkat tangan. Arief diminta mengembalikan modal mereka. Arief cari tambahan kredit jangka pendek.

Kebetulan seorang temannya di Gresik minta tolong: agar Arief mau membeli stok garamnya dengan harga murah sekali. Si teman lagi butuh uang. Garam itu akan dilepas dengan harga Rp 4/kg. Arief menggunakan sebagian uang kredit untuk menolong temannya itu.

"Tiba-tiba harga garam naik menjadi Rp 90/kg. Kredit jangka pendek saya langsung lunas," katanya.

Akhirnya pabrik gas industri Arief berjalan lancar. Sudah 100 persen miliknya sendiri. Pabrik yang semula 2 hektare menjadi 20 hektare. Belum lagi pabriknya yang di banyak kota di Indonesia.

Singkatnya Arief menjadi yang terbesar di Indonesia. Merk dagang gasnya "Samator'' �"singkatan Samarinda-Toraja.

Saingan terberatnya saat itu adalah Aneka Gas �"milik BUMN. Terutama setelah Aneka Gas dijual ke investor Jerman. Statusnya pun menjadi PMA. Samator harus bersaing dengan perusahaan asing.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway