Ilustrasi Dahlan iskan/Net
Ilustrasi Dahlan iskan/Net
KOMENTAR

Ada dua lembaga penelitian yang diizinkan melakukan uji klinis tahap 1. Yang di Wuhan dan yang di Beijing. Masih ada empat lembaga lagi yang izinnya sedang diproses (saat itu).

Itulah uji coba klinis yang paling menakutkan. Mestinya. Tujuan uji coba tahap 1 adalah: untuk melihat apakah vaksin itu mengandung efek sampingan.

Karena itu di tahap ini relawannya harus tinggal di rumah sakit. Selama dua bulan. Agar setiap saat bisa dimonitor.

Kalau uji klinis tahap 1 itu, misalnya, dilaksanakan di Indonesia bisa jadi justru sudah gagal sebelum dilaksanakan. Efek samping itu akan dibahas sampai kiamat. Uji coba obat yang mudah diterima segala aliran di Indonesia adalah yang punya efek depan bagi laki-laki.

Sedang efek samping begitu menakutkan. Padahal peneliti sudah menghitung lewat keahlian mereka. Dampak samping yang dimaksud sudah bisa diperkirakan: tidak ada. Seandainya ada pun antisipasinya sudah disiapkan. Itulah sebabnya relawan harus tinggal di rumah sakit.

Ini sangat ilmiah. Jangan dibayangkan seperti ujicoba bikin ketupat dengan beras merah yang airnya pakai kencur.

Benar saja.

Dua bulan kemudian muncullah pengumuman: tidak ditemukan efek samping apa pun.

Sebelum uji coba pun para ilmuwan penemunya sudah yakin itu. Secara konsep sudah terjamin. Sudah pula didiskusikan. Pun di tahap ini juga sudah harus mendapat persetujuan yang tidak mudah.

Termasuk sudah harus diujicobakan ke binatang. Pun sudah lolos.

Maka uji coba klinis tahap 1 itu pada dasarnya hanya untuk meyakinkan. Bukan sekadar coba-coba.

Setelah lolos uji coba tahap 1 itu, izin pun dikeluarkan: untuk uji coba tahap 2. Relawannya harus lebih banyak: 60 - 120 orang. Mereka juga harus tinggal di rumah sakit selama dua bulan.

Tujuan utama uji klinis tahap 2 ini untuk melihat manjur tidaknya vaksin itu. Sekaligus tetap memonitor dampak samping yang mungkin muncul.

Ini juga bukan sekadar coba-coba. Penemunya sudah diuji di banyak tahap sebelumnya. Hasil uji coba tahap 2 pun diumumkan: vaksin ini manjur. Relawan yang divaksinasi bisa memiliki antibodi untuk melawan Covid-19. Pun tidak muncul efek samping.

Semua itu (tahap 1 dan 2) dilakukan di Wuhan dan Beijing.

Maka uji coba tahap 3 itu sebenarnya sudah sangat aman. Itu perlu dilakukan sebagai persyaratan kehati-hatian yang harus ekstra. Tanpa uji coba tahap 3 lembaga perizinan tidak akan mengeluarkan izin edar.

Tingkat kehati-hatian di bidang ini saya lihat setara dengan tingkat kehati-hatian di bidang nuklir.

Saya salut pada Biofarma yang mengurus hak uji coba ini di Indonesia. Agar kita bisa punya hak memproduksi vaksin itu untuk orang Indonesia.

Dengan demikian kita tidak perlu --seperti diucapkan seorang ahli ekonomi-- menunggu tiga tahun untuk antre mengimpor vaksin itu.

Saya pun begitu ingin jadi relawan uji coba tahap 3 ini. Agar Indonesia lebih cepat punya vaksin. Bahwa itu vaksin bin huaren apa bedanya dengan vaksin binti Trump. Saya siap ikut jadi relawan. Misalnya untuk golongan umur 70 tahun. Siapa tahu ada gunanya.

Kalau dikhawatirkan biaya uji coba akan naik, saya sanggup menanggung biaya uji coba saya sendiri itu.

Tapi kalau harus pindah ke Bandung? Sayang, saya punya bayi baru yang masih harus dikeloni siang-malam: Harian DI’s Way. Tapi kalau memang diizinkan, saya siap saja pindah ke Bandung, dua bulan.

Biaya-biaya yang timbul, saya bayangkan, adalah biaya lab untuk periksa darah lengkap, foto paru-paru, jantung, ginjal, dan otak. Tidak akan terlalu mahal.

Katakanlah: Rp 5 juta.

Kalau Biofarma memerlukan pemeriksaan terhadap 2.000 relawan total ya memang besar: Rp 10 miliar. Dari 2000 relawan itu tentu bisa didapatkan 1600 yang layak diuji coba.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway