Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

VIRUS Corona atau Covid-19 yang menjadi pandemi global saat ini memberikan efek buruk bagi banyak sektor di dunia, bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial. Termasuk dari efek domino pandemi virus corona saat ini adalah masalah rumah tangga.

Di China, pasca masa karantina serta tindakan tegas pemerintah untuk melakukan lockdown untuk mengerem penyebaran virus corona selama beberapa minggu, ada "fenomena" menarik yang muncul, yakni meningkatnya angka perceraian.

Pasca wabah virus corona semakin terkendali dan jumlah penularan menurun drastis, serta kegiatan sehari-hari mulai berangsur normal, kantor pendaftaran perkawinan di China justru kebanjiran pendaftaran. Bukan untuk menikah, melainkan untuk bercerai.

Ambil contoh apa yang terjadi di wilayah Dazhou, Provinsi Sichuan di barat daya China. Manajer pendaftaran perkawinan di wilayah tersebut, Lu Shijun pada pertengahan bulan Maret kemarin menjelaskan, ada lebih dari 300 pasangan yang menjadwalkan janji untuk perceraian sejak 24 Februari lalu.

Para pejabat meyakini, lonjakan perceraian itu kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa banyak pasangan menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam rumah selama masa karantina.

"Tingkat perceraian (di distrik) telah melonjak dibandingkan sebelum (wabah virus corona)," kata Lu, seperti dimuat Daily Mail.
 
"Fenomena" semacam itu juga diprediksi akan terjadi di Inggris. Pengacara perceraian kondang Inggris Fiona Shackleton yang juga merupakan anggota parlemen Inggris, pertengahan Maret lalu mengatakan bahwa karantina mandiri serta lockdown di Inggris berpotensi memicu kenaikan tingkat perceraian pasca wabah usai.

"Orang hanya perlu membayangkan bagaimana jadinya ketika keluarga ditempatkan di dalam properti untuk jangka waktu yang lama," sambungnya.

Argumen serupa juga dikeluarkan oleh konsultan pengacara hukum keluarga di Richard Nelson, Hardeep Dhillon. Dia mengatakan, setelah libur Natal tahun lalu, firma hukum Inggris mencatat ada kenaikan 230 persen dalam pencarian internet soal kata kunci "Saya ingin bercerai".

Karena itu, dia tidak membayangkan soal berapa banyak pasangan yang ingin bercerai usai masa lockwodn di tengah wabah virus corona saat ini usai.

Jika hal semacam itu terjadi di China dan kemungkinan di Inggris, bagaimana dengan Indonesia?

Legal Conslutant, yang juga merupakan pakar hukum keluarga, Citra Judexinova, S.H., M.Kn. menjelaskan kepada Farah awal pekan ini mengenai situasi tersebut.

Menurutnya, dalam hal ini, perlu dilihat apakah di China dan Inggris, perkawinan bersifat kontekstual secara perdata semata, atau memiliki kesatuan dengan unsur agama.

"Karena hal ini juga turut mempengaruhi mindset terhadap perkawinan itu sendiri," jelasnya.

Selain itu, jelasnya, perlu juga dilihat bagaiman pengaruh sosial, budaya serta kebiasaan, baik di China maupun Inggris terhadap perkawinan dan kehidpan berkeluarga.

"Saya ambil contoh di China. Saya menemukan latar belakang bahwa ternyata angka pernikahan di China saat ini sangat rendah, terutama di daerah yang mengalami kemajuan secara ekonomi," jelasnya.

"Biro Pusat Statistik Nasional dan Kementerian Kependudukan China mencatat, pada tahun 2018 lalu, hanya terdapat rata-rata 7,2 orang yang menikah dari setiap 1.000 orang di usia nikah," sambung Citra.

Selain itu, jelas Citra lagi, Prfesor Yuan Xin dari Nankai University, Tianjin mengemukakan alasan utama rendahnya angka pernikahan di China yaitu karena warga yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi biasanya memilih untuk tidak terburu-buru menikah karena mengejar pendidikan, karir, atau lebih merasa nyaman hidup sendiri.

"Berdasarkan latar belakang tersebut, kemungkinan besar hakikat perkawinan itu tidak benar-benar dipahami oleh para warga di China," ujar Citra.

"Terlebih lagi, kita tahu bahwa jumlah penduduk China merupakan yang terbesar di bumi, sehingga keinginan untuk berkeluarga dan memiliki anak, barangkali bukan prioritas utama. Sehingga, keputusan untuk bercerai mungkin tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kehidupan mereka," tambahnya.

Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi perkawinan di Indonesia.

"Berbeda dengan di Indonesia, pernikahan adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan. Terbukti saat wabah Covid-19, masih ada saja pihak-pihak yang melangsungkan pernikaha berikut resepsinya. Padahal, pemerintah menggalakan social distancing dan gerakan di rumah saja," tuturnya.

Lebih lanjut Citra menjelaskan bahwa dalam hukum perkawinan yang tercantum dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian tersebut, jelas Citra, perkawinan di Indonesia dianggap sebagai suatu ikatan yang sakral dan seumur hidup, karena melibatkan keyakinan agama.

Selain itu, jelas Citra, merujuk pada UU perkawinan, peran istri dan suami juga diatur dengan jelas.




Film Horor dan Dampak Psikologisnya terhadap Anak

Sebelumnya

Tidak Mendapat Hak Waris, Ini yang Nanti Diterima Anak Adopsi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Family