Pada hakikatnya, Allah tidak melarang pertemanan dengan lawan jenis. Hanya saja, ada etika yang harus digunakan/Net
Pada hakikatnya, Allah tidak melarang pertemanan dengan lawan jenis. Hanya saja, ada etika yang harus digunakan/Net
KOMENTAR

SIAPAPUN bisa memiliki teman dekat lawan jenis. Namun terkadang laki-laki terlalu mengistimewakan teman perempuannya, bahkan layaknya seorang ratu. Perlakuan seperti it uterus berlangsung hingga masing-masing memiliki pasangan hidup. Bisa dikatakan, teman tapi mesra.

Allah memang menciptakan hati manusia begitu uniknya. Demikianlah Pertemanan beda jenis tidak selalu berujung pernikahan, sebab pernikahan dipandang bisa merusak makna persahabatan. Biarlah teman tetap menjadi teman, tidak perlu embel-embel hubungan suami istri.

Meski sebagian pihak cukup rumit memahaminya, namun begitulah adanya yang dipercaya oleh sebagian lainnya.

Nabi Muhammad Sawjuga memiliki teman perempuan, bahkan beliau sangat menghormatinya. Penghormatan Nabi luar biasa, di sela kesibukannya sebagai pemimpin agama dan negara, beliau masih mengutamakan dan memuliakan teman Khadijah. Meski Khadijah sudah lama wafat, beliau tetap menjaga hubungan persahabatan.

Rasulullah menjadikan teman istri sebagai temannya juga. Beliau memperlakukan teman istri bagaikan ratu, menjamunya, melayaninya dan menghargainya. Tetapi, kebaikan Nabi masih dalam koridor normal, tidak melebihi kebaikan beliau terhadap istrinya.

Syaikh Abdurrahman Yakub dalam buku Pesona Akhlak Rasulullah Saw (2006: 271) menulis, Rasulullah selalu menunaikan janji orang-orang yang sudah meninggal dunia, terutama Khadijah. Beliau sering mengirim hadiah untuk teman-teman serta orang-orang yang disukai Khadijah.

Pada suatu hari, salah seorang teman Khadijah datang berkunjung, dan Rasulullah pun membentangkan kainnya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia sering mendatangi kami saat Khadijah masih hidup. Dan bahwasanya janji yang baik adalah bagian dari iman.”

Nabi begitu memelihara hubungan pertemanan. Beliau juga memiliki teman wanita semasa kecil, ketika masih diasuh di desa Bani Sa’ad. Kebetulan dalam Perang Hunain, teman wanitanya itu menjadi tawanan muslimin. Beliau bentangkan sorban sucinya untuk diduduki oleh tawanan wanita tersebut.

Betapa dahsyatnya perhatian dan pelayanan Nabi terhadap teman wanitanya. Bahkan beliau membebaskan dari tawanan dan memberinya banyak hadiah. Namanya Syaima.

Wanita itu bukan hanya teman, melainkan juga kakak sepersusuannya. Ibu dari Syaima adalah Halimah As-Sa’diyah atau ibu susu Nabi Muhammad.

Pola-pola hubungan sehat seperti ini terus dijaga Nabi, dia tidak berkhalwat atau berduaan di tempat sepi dan tidak pula melakukan ikhtilath atau campur baur dengan lawan jenis. Kebaikan beliau terhadap teman wanita memang menakjubkan, tetapi tidak berlebihan dan tetap menjaga jarak yang aman.

Pada prinsipnya, teman adalah teman, bukannya istri. Sedekat apapun hubungan pertemanan, tidak akan melampaui kebaikan terhadap istri. Bahkan pertemanan dengan wanita lain dibangun oleh Nabi Muhammad dalam bingkai keridaan istrinya.

Dari pola hubungan pertemanan yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad, dapatlah kita petik sejumlah petuah, yaitu menjaga hubungan dalam jarak yang saling menghormati. Tidak bisa sangat dekat dengan seseorang yang bukan muhrim.

Melakukan kebaikan dan kebajikan tanpa menyakiti perasaan istri. Sebab, walau bagaimanapun istri adalah tanggung jawab pertama dan utama. Kebahagiaan istri adalah agenda terpenting seorang suami. Jangan sampai kebaikan terhadap teman malah membuat perasaannya terluka.

Libatkan istri dalam kegiatan bersama teman perempuan, setidaknya mengetahui perkembangannya. Cara ini lebih aman dari pada munculnya prasangka yang membahayakan. Istri perlu mengetahui secara bijaksana hubungan sehat suami dengan teman wanitanya.

Memelihara perasaan istri, agar suami lebih peka mana yang berpeluang memantik kecemburuan atau ledakan amarahnya. Ingatlah, setiap istri berbeda sensitifnya. Jadi, berhati-hatilah dalam menjaga kepekaan perasaan yang halus tersebut.

Menghentikan pola hubungan yang dapat membuat retak hubungan suami istri. Adakalanya kita tegas ketika pola hubungan pertemanan itu sudah menghadirkan malapetaka. Hubungan-hubungan yang berbahaya apalagi yang menyalahi aturan agama itulah yang harus dijauhi.




Adab Anak Adalah Tanggung Jawab Orang Tuanya

Sebelumnya

Apa Hubungan Bersyukur dengan Percaya Diri bagi Seorang Muslimah?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur