Sudah lama hujan tidak mengguyur Jakarta. Karenanya, BNPB melakukan teknologi modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan minimal 2 sampai 3 kali dalam seminggu, untuk mengusir polusi udara/Net
Sudah lama hujan tidak mengguyur Jakarta. Karenanya, BNPB melakukan teknologi modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan minimal 2 sampai 3 kali dalam seminggu, untuk mengusir polusi udara/Net
KOMENTAR

MODIFIKASI cuaca untuk mengatasi polusi udara, kian mendesak dilakukan. Sebab, dalam beberapa minggu terakhir, hujan tidak mengguyur sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Jabodetabek. Kondisi ini memperburuk polusi udara yang terjadi sejak awal tahun ini.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, dalam konferensi pers secara daring, Selasa (22/8) menjelaskan, pihaknya telah memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menurunkan hujan di wilayah DKI Jakarta.

Modifikasi cuaca merupakan penanganan jangka pendek ketika kota berada dalam kepungan polusi udara. Dan tidak hanya di Jakarta, beberapa kota lain juga akan dilakukan hal serupa seperti di Bandung dan Semarang.

“Kita sudah mulai melakukan TMC sesuai dengan arahan Bapak Presiden. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di Bandung, Semarang, dan kota-kota lainnya. TMC telah dilakukan sejak 19 sampai 21 Agustus kemarin,” kata Abdul Muhari kepada wartawan.

Dari hasil TMC tersebut diharapkan hujan turun dua sampai tiga kali dalam seminggu.

“Tentu saja, nanti aka nada kebijakan jangka panjang yang akan kita laksanakan. Tapi untuk saat ini, kita fokus dulu untuk penanganan jangka pendek. Paling tidak, sampai kemarau ini. Kalaupun (hujan) tidak tiap hari, minimal 2 sampai 3 kali seminggu,” ucap dia.

Sementara itu, Peneliti Laboratorium Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo mengungkapkan, TMC yang telah dilakukan sudah berhasil menciptakan hujan. Hanya saja, hujan mengguyur wilayah Bogor, Depok, hingga Tangerang Selatan, dan belum sampai ke Jakarta.

Alasannya, kelembapan udara di lapisan atas sangat kering, sehingga awan-awan yang ada tidak banyak mengandung uap air. Selain itu, CAPE (Convective Available Potential Energy) atau energi pengangkatan, juga sangat rendah sehingga sulit terbentuk awan-awan konvektif.

“Karena kandungan airnya sedikit, energinya rendah, dan angin juga relatif kalem, awan yang menjadi hujan tersebut hanya bisa turun dengan intensitas ringan dan tidak meluas sampai ke wilayah Jakarta,” ucap Budi.

“Kendala terbesar karena memang secara musim saat ini adalah musim kemarau. Ditambah secara iklim, saat ini sedang terjadi fenomena El Nino. Sangat sulit mengharapkan terjadinya hujan, karena potensi yang tersedia sangat kecil,” demikian ia.




Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Sebelumnya

Miliki Lebih dari 68 Dapur Umum, World Central Kitchen Kembali Beroperasi di Gaza PascaSerangan Israel yang Membunuh 7 Pekerja

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News