Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ENTAH siapa yang layak disanjung atas sebuah penantian panjang puluhan tahun itu. Apakah pujian untuk sang lelaki yang pernah berikrar, “Kutunggu jandamu!” hingga dirinya rela menjomblo begitu lamanya? Apakah yang hebat itu perempuan yang sudah berusia matang tetapi pesonanya malah makin memukau?

Dan tiba-tiba terjadilah kecelakaan maut yang merenggut nyawa suami tercinta, yang kemudian mengakibatkan sang istri resmi menjanda.

Lelaki itu bergegas mengajukan proposal pernikahan untuk impian yang dijaganya demikian lama. Jika dulu cinta mereka kandas disebabkan orang tua, maka kini tidak ada lagi halangan yang merintangi.

Lagi pula suami perempuan itu sudah berpindah ke alam baka.

Tapi, perempuan itu mengingatkan, “Ada masa iddah.”

Rayuan, bujukan hingga desakan tidak digubrisnya, karena janda tersebut berupaya menjernihkan hati selama masa iddah. Dia tidak mau membuat keputusan sebelum tuntas menaati aturan agama.

Betapa indahnya apa yang digariskan fikih Islam berkaitan dengan iddah. Entah itu berpisahnya seorang perempuan dengan suaminya dikarenakan cerai hidup atau pun cerai mati, tetap saja ada masa menunggu yang mesti dijalaninya, yang dikenal dengan iddah.

Kata orang-orang, menunggu itu pekerjaan yang paling berat. Namun, iddah adalah menunggu yang indah, karena berhubungan dengan kehormatan seorang perempuan. Sebab iddah itu pula membuktikan seorang istri itu memang perempuan baik-baik, lahiriah maupun batiniah.

Dahulu kala, para ulama melihat hikmah iddah adalah untuk memastikan hamil atau tidaknya perempuan yang bersangkutan. Sehingga dengan adanya iddah dapat memastikan garis keturunan yang berhubungan dengan janin yang berada di rahim tersebut.

Seiring kemajuan zaman, maka hikmahnya iddah juga turut berkembang pula. Karena selain perannya yang masih berlaku dalam memastikan kesucian rahim perempuan, tetapi juga dalam bingkai memelihara akhlak.

Muhamad Isna Wahyudi dalam buku Fiqh Iddah: Klasik dan Kontemporer (2009: 95) menerangkan, seiring dengan perkembangan teknologi dalam bidang kedokteran sekarang ini, tampak bahwa hikmah tersebut sudah tidak relevan. Sebab, sekarang kehamilan dapat diketahui dalam waktu yang relatif singkat.

Jika demikian, kemudian apa sebenarnya hikmah yang ada di balik ketentuan tersebut? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu tujuan iddah adalah untuk tafajju' (berbela sungkawa).

Tujuannya adalah untuk berkabung atas kematian suami dan menjaga perasaan dari pihak mertua. Dengan demikian, tampak bahwa iddah juga berhubungan dengan masalah etika.

Demikianlah agama suci ini mendahulukan akhlak, dalam hitungan pahit sekalipun adab perlu dikedepankan. Misalnya, telah terjadi perceraian, maka seperih apapun luka di hati, demi kehormatan dirinya dan demi menegakkan akhlaknya, maka perempuan tersebut tetap menjalani masa iddah.

Syaikh Abu Bakar Jabar Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim (2015: 713) menerangkan beberapa hikmah disyariatkan masa iddah adalah:
1. Memberi kesempatan kepada suami untuk rujuk kepada istrinya tanpa kesulitan. Ini jika talaknya talak raj'i.
2. Mengetahui kosong atau tidaknya rahim guna menjaga silsilah keturunan dari kemungkinan tercampur dengan orang lain.
3. Agar istri dapat membantu keluarga suaminya dan menunjukkan kesetiaannya pada suaminya jika iddah itu karena ditinggal mati suaminya.

Nah, kalau begitu mengapa pula iddah disebut sesuatu nan indah?    

Sebab, iddah itu ibarat mahkota yang memuliakan keindahan hakiki dari pribadi perempuan.

Namun, kita tidak dapat mencukupkan diri hanya membahas hikmah-hikmahnya saja, karena ketentuan fikih mestilah dipahami untuk kemudian diamalkan.

Lantas, apa saja ketentuan fikih Islam berkaitan dengan iddah?

Abdul Qadir Manshur dalam Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 130-132) menguraikan, ada dua macam iddah:

Pertama, iddah karena perceraian, memiliki dua kategori yang masing-masing memiliki hukum sendiri:

a. Perempuan yang diceraikan dan belum disetubuhi.

Dia tidak wajib menjalani masa iddah. Surat Al-Ahzab ayat 47, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

b. Perempuan yang diceraikan dan sudah disetubuhi




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tafsir