BERPRESTASI mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Besarnya hasrat membuat para orangtua dan banyak sekolah memilih prestasi sebagai ukuran keberhasilan anak.
Jadi juara dan dapat piala, di mana anak harus mengikuti banyak perlombaan, sangat diharapkan oleh para orangtua. Kalau lemari sudah penuh piala kemenangan, itu dijadikan sebagai tanda kebanggaan.
Padahal sadar atau tidak, orangtua yang memandang prestasi dari sisi kompetisi justru membuat anak kian depresi dan semakin tidak percaya diri. Kok bisa?
Endinda Krista, seorang edukator pendidikan usia dini menjelaskan, anak yang 'terpaksa' berkompetisi lebih mudah mengalami depresi lantaran ada suatu tekanan bahwa dirinya harus mendapat kemenangan dari perlombaan tersebut.
"Meskipun orangtuanya sering bilang, 'Nggak apa-apa nggak menang, yang penting kamu sudah berani tampil', namun di perlombaan berikutnya kalimat tersebut bukan lagi menjadi sebuah motivasi bagi anak untuk berhasil. Justru ia semakin tertekan, terutama oleh situasi di lapangan," kata Endinda.
Dan anak menjadi tidak percaya diri. Pada sebagian anak yang menginginkan kemenangan, ia berupaya mencari rekomendasi seperti apa gaya pemenang tahun sebelumnya di kompetisi yang sama. Kemudian ia berusaha untuk menjadi peniru dengan mengubah sedikit saja gayanya, agar berbeda dengan pemenang sebelumnya.
Inilah mengapa kemudian anak disebut menjadi kurang percaya diri akan kemampuannya sendiri. Memang tidak ada yang salah ketika mencari tahu bagaimana si A bisa memenangkan perlombaan, namun itu bisa mempersempit ruang gerak anak untuk mengeksplorasikan dirinya lebih luas lagi.
Ahli pendidikan global Alfie Kohn dalam tulisannya yang berjudul "The Case Against Competition" menyebutkan bahwa kompetisi pada dasarnya buruk, mengapa?
1. Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi yang lama kelamaan bisa merusak lapisannya.
2. Sebenarnya, anak-anak dikatakan sukses jika bisa mengatasi kompetisi, bukam karena menang kompetisi. Karena sejatinya mengalahkan kegelisahan dan stres saat kompetisi jauh lebih penting dibandingkan kemenangan itu sendiri.
3. Kompetisi adalah sumber permusuhan, karena belum semua anak mengerti bagaimana berkompetisi dengan baik.
"Pesan untuk para orangtua, jika memang ingin mengikutsertakan anak pada suatu perlombaan, ingat 3 hal ini. Yaitu sesuaikan dengan minat anak, bukan dipaksa orangtua, ekspektasi dan target harus sesuai usia anak," lanjut Endinda mengutip postingannya di akun Instagram miliknya.
Zaman sekarang sudah tidak trennya untuk berkompetisi, tapi lebih keren berkolaborasi. Karena secara kognitif, kolaborasi lebih sulit daripada kompetisi dan manfaatnya juga lebih banyak. Diantaranya mengajarkan anak kerjasama dan saling menghargai.
KOMENTAR ANDA