Seorang pedagang kurma menunggui kedatangan pembeli di pasar dekat kawasan Utaiqah, Riyadh, Arab Saudi/ Foto: REUTERS/Faisal Al Nasser
Seorang pedagang kurma menunggui kedatangan pembeli di pasar dekat kawasan Utaiqah, Riyadh, Arab Saudi/ Foto: REUTERS/Faisal Al Nasser
KOMENTAR

BELASAN abad yang lampau Nabi Muhammad telah mewanti-wanti berniaga itu penting.  

Sangat penting malah! Bahkan pernah pula beliau mengingatkan 9 dari 10 pintu rezeki itu ada di perniagaan. Kalau mau kaya, 90% kesempatannya terhampar pada dunia bisnis.

Bukan sekadar berkata-kata, beliau pun membuktikan ucapannya. Pada masa remaja, Rasulullah sudah mengikuti perjalanan bisnis internasional dengan pamannya, Abu Thalib. Beliau menempuh perjalanan panjang dari Mekah ke Syam. Sungguh jauh jarak yang ditempuh anak belia itu untuk mereguk pengalaman berdagang.

Ketika dirinya tumbuh menjadi pemuda yang gagah, Nabi Muhammad pun berniaga dengan membawa barang dagangan Khadijah ke Syam. Dan beliau meraih keuntungan yang spektakuler.

Dapatkah kita membayangkan, andai Nabi Muhammad hidup di era milenial ini, ketika bisnis dapat berlangsung dengan mudahnya di smartphone. Kurang apalagi coba? Kesempatan itu benar-benar terhampar luas, sehingga pesan Rasul terkait bisnis kian menunjukkan ufuk baru yang cerah.

Nah, bagaimana caranya supaya kita dapat membuat pelanggan jatuh cinta? Ya, jatuh cinta yang sebenarnya.

Rasulullah telah menunjukkan kunci rahasianya, yaitu kejujuran.

Bagaimana para pembeli tidak jatuh hati, ketika para pedagang lain berlomba-lomba menutupi aib jualannya, sebaliknya Nabi Muhammad malah memberitahukannya secara terbuka. Beliau tidak mau pembeli tertipu, jangan ada dusta di antara penjual dan pembeli.

Nah, kita hidup di era milenial nih, di mana transaksi itu berlangsung secara online. Apakah masih relevan rumus dagang ala Rasulullah?

Tentu saja amat relevan! Bukankah kejujuran merupakan mata uang yang laku di mana saja dan kapan saja.

Terlebih lagi di era transaksi online ini penjual dan pembeli tidak bertatap muka. Bahkan pembeli tidak melihat barang atau produk secara nyata, kecuali mengandalkan foto atau video.

Ya, penipuan amat rawan terjadi. Peluang menipu pembeli juga amat terbuka lebar dan banyak pula keuntungan menggiurkan dari praktik hitam tipu-tipu ini.

Akan tetapi, cara ini tidak akan pernah membuat pembeli jatuh cinta, yang ada mereka malah sakit hati, lalu berpaling kepada yang lain. Bisnis yang tidak dipayungi kejujuran akan lekas terjun ke jurang kebinasaan. Sehingga ada yang menyimpulkan, sejatinya perniagaan yang paling laris itu adalah bisnis kejujuran.

Surat An-Nisa ayat 29, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”            

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyebutkan, ayat di atas menekankan juga keharusan adanya kerelaan kedua belah pihak atau yang diistilahkan dengan ‘an taradhin minkum. Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat.

Hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syari’at yang mengikat, serta sanksi yang menanti, merupakan tiga hal yang selalu berkaitan dengan bisnis dan, di atas ketiga hal tersebut, ada etika yang menjadikan pelaku bisinis tidak sekadar menuntut keuntungan materi yang segera, tetapi melampauinya hingga seperti tuntunan Al-Qur’an.  

Ayat ini mengingatkan kaidahnya, yakni perdagangan itu berlaku atas dasar suka sama suka. Harus muncul keridaan di antara kedua belah pihak, yang oleh Rasulullah kejujurannya itu bahkan menghadirkan cinta.

Khadijah itu primadona alias most wanted, dan banyak lelaki terhormat yang harapannya menikahi Khadijah terpaksa kandas. Tetapi ketika mengutus Nabi Muhammad memperdagangkan perniagaannya, Khadijah mengetahui kejujurannya beliau yang diceritakan oleh pelayannya.  

Akhirnya, Nabi Muhammad bukan saja menghasilkan keuntungan niaga yang amat besar, tetapi berhasil membuat hati Khadijah pun luluh dan cinta itu pun bersemi. Kemudian lahirlah suatu ungkapan, berniagalah seperti Rasulullah, sehingga Khadijah pun jatuh cinta.

Dari sini kita memahami pintu rezeki itu memang amat terbuka lebar dalam perniagaan. Akan tetapi itu bukan berarti kita menghalalkan segala cara hanya untuk mengeruk keuntungan materi. Itu bukan berarti kita menghambakan diri untuk uang. Karena ada yang lebih menakjubkan di atas harta, yaitu cinta.

Berniaga dengan cinta mungkin belum populer, tetapi bukan tidak mungkin. Karena dengan cara Rasulullah ini bukan hanya keuntungan materi yang diraih, tetapi juga terbuka lebar keberkahan.

Selamat berniaga!         
    




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur