Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ANAK muda itu meringkuk dan meringis. Kulitnya cedera, seperti berair atau bernanah hampir di sekujur tubuh. Entah apa yang terjadi sehingga kejadian yang mengerikan bagi anak gaul itu menimpa dirinya.

Ibunya berkata, “Dia bekerja di pabrik kimia.”

Mungkin dia terkena kecelakaan kerja, entahlah! Karena yang menarik itu senyum ibunya, dan sikap santai ayahnya. Bagi orangtuanya kenyataan itu dipandang biasa saja, yang penting anak mereka sudah diobati.

Kalau adegan ini terjadi di gubuk derita, mungkin mudah bagi kita berusaha untuk memakluminya. Bukankah wong cilik acapkali mengalami kejadian malang dalam kehidupannya?

Akan tetapi kejadiannya di sebuah apartemen mewah di tengah-tengah kemegahan ibukota Jakarta. Ibu dan bapaknya bukan hanya memiliki kemapanan ekonomi, tetapi juga tergolong orang cukup terpandang di republik ini.

Lantas, buat apa anak mereka yang lagi mekar-mekarnya itu bekerja di pabrik?

Demi pengalaman hidup.

Ya, itulah alasan orangtuanya. Sembari anaknya menanti kepastian kuliah ke luar negeri, buah hati tercinta perlu mencicipi berbagai macam pengalaman hidup.

Hebatnya, si anak pun meresapi tujuan ayah bunda dan menerimanya dengan lapang dada. Karena dia menyadari pengalaman apapun, bahkan yang terpahit sekalipun amatlah berharga bagi kematangan jiwa.

Ibu dari anak muda itu punya masa kecil yang menakjubkan. Dia terlahir dari 9 bersaudara, yang mana mereka menjadi yatim ketika masih kecil, sementara emak hanyalah janda buruh tani.

Tanpa perlu bercerita panjang lebar pun kita akan paham betapa beratnya perjuangan yang ditempuhnya hingga sampai ke posisi kejayaan di saat ini. Saripati kehidupan itu direguknya dari berbagai pengalaman, yang terpahit sekalipun. Barangkali itu pula yang mengilhami ibu dan bapaknya untuk memberikan aneka pengalaman bagi anak tercinta.

Di samping penting mengetahui kelebihan diri untuk dikembangkan, maka kita pun perlu mengetahui kelemahan-kelemahan diri. Bukan bermaksud menurunkan mentalitas, melainkan untuk memperbaikinya, dan kalau perlu menjadikan kelemahan itu sebagai kekuatan diri.

Nah, pengalaman demi pengalaman merupakan guru terbaik, karena akan membentangkan di hadapan kita perihal kelemahan diri. Misalnya, betapa seringnya kita sedih, marah, putus asa hingga menangis diam-diam ketika bekerja di perusahaan. Kenapa ya, kok rasanya semua orang begitu kejam?

Kalau kita berhenti menyalahkan orang lain, dan mau jujur melihat kepada diri sendiri, maka pengalaman pahit itu sesungguhnya memberikan suatu pencerahan; kita punya kelemahan berupa kerapuhan hati, belum tangguh dalam menghadapi tekanan dunia kerja.

Bagusnya lagi, pengalaman tidak saja menyadarkan kepada kita perihal kelemahan diri, tetapi juga menempa diri kita untuk lebih tangguh. Apabila mampu memandang positif terhadap pengalaman, maka diri kita akan dapat memetik manfaat darinya, yang di antaranya termasuk menerima pengalaman terpahit sekalipun sebagai penguatan mental dan memperkaya cara pandang.

Semestinya Fatimah menjadi sosok yang traumatis. Betapa tidak, sedari kecil dirinya ikut merasakan pahit getir kekejaman musyrikin Quraisy. Akan tetapi putri Rasulullah tersebut malahan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tangguh dan juga dewasa.

Bahkan selain mendapat julukan az-Zahra artinya (bunga, cerdas dan luar biasa), Fatimah juga dijuluki Ummu Abiha atau ibu dari ayahnya. Setelah kematian istrinya, Khadijah, Nabi Muhammad mendapatkan sosok pembela sejati, yaitu Fatimah.

Nah, kenapa tuh, bukannya trauma dengan pengalaman getir, Fatimah justru mampu menjelma dengan demikian menakjubkan ya? Barangkali yang berikut ini dapat memberikan secercah pencerahan:
Gershen Kaufman dalam buku Dinamika Kuasa menerangkan, tetapi jika kita dapat mengambil sesuatu yang positif dan bermanfaat dari pengalaman-pengalaman hidup, meskipun tak menyenangkan atau mengecewakan, maka kita akan mendapatkan kekuatan batin. Mengumpulkan dan menyimpan kebahagiaan atau perasaan-perasaan baik dan melepaskan perasaan-perasaan buruk merupakan sarana-sarana penting untuk mengembangkan kesehatan psikologik.

Pada hakikatnya, tidak ada pengalaman yang buruk, karena segalanya tergantung pada cara kita memandangnya. Termasuk pula pandemi Covid-19 yang kian berlarut-larut ini, yang mengguncang hampir di semua lini kehidupan manusia.

Betapa lemahnya manusia, begitu diuji dengan virus yang teramat halus, yang tak kasat mata, langsung saja umat manusia sedunia menjadi kalang-kabut. Pengalaman pandemi ini menyingkap betapa banyaknya kelemahan manusia, sehingga tidak seorang pun yang pantas menyombongkan dirinya.

Berikutnya, kewajban manusia untuk memahami kelemahan-kelemahan diri, untuk memperbaikinya dan mengembangkannya ke arah yang positif.

Sebagaimana kita tidak dapat menafikan, di balik banyaknya kisah-kisah nestapa, ternyata pandemi juga melahirkan kisah-kisah heroik, tentang orang-orang yang memperbaiki kelemahan dirinya, lalu berjuang pantang menyerah hingga berhasil merengkuh kejayaan.

Akhirnya, terkadang kita butuh pengalaman pahit sekalipun untuk memetik banyak manfaat yang manis.  




Menjadi Korban Cinta yang Salah

Sebelumnya

Ana Khairun Minhu

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur