Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

INI kisah tiga perempuan yang mencoba memaknai hakikat fitri dalam kehidupan mereka di tengah pandemi. Sebut saja Melati, Dahlia, dan Mawar. Ketiganya berpasrah dan bersyukur menyambut hari nan suci dengan jalan hidup masing-masing.

Kisah Melati menjadi yang pertama. Berusia awal 30-an, penampilannya selalu mendapat pujian dari sesama perempuan. Secara fisik, wajahnya terbilang cantik, dengan senyum menawan, kulit putih bersih, bentuk tubuh ideal. Sebagai muslimah yang berhijab sejak kuliah, Melati sangat senang tampil modis.

Kecerdasannya tak diragukan lagi. Ia lulus dari universitas negeri terkemuka. Dan menyelesaikan studi S2 di luar negeri. Dengan berbagai pengalaman berorganisasi dan network yang terjalin luas, Melati selalu terlihat outstanding dalam setiap aktivitasnya. Kariernya pun berjalan mulus. Ia pernah sangat sibuk. Terlalu sibuk, bahkan.

Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Bahkan kerap membuatnya galau.

Sudah berkali-kali ia merajut kasih. Mencoba menyamakan visi sebelum maju ke gerbang pernikahan. Entah mengapa selalu kandas. Ia mengeluhkan bagaimana banyak laki-laki belum bisa menerima 100% sosoknya sebagai perempuan sukses, mandiri, kritis, dan berpikiran maju.

Hingga pandemi menajamkan mata hatinya. Ia menyaksikan bagaimana orangtua dan adik-adiknya terinfeksi Covid-19. Betapa air matanya mengalir saat harus menandatangani surat persetujuan rumah sakit yang berhubungan dengan kemungkinan kematian mereka yang ia cintai. Ia melihat banyak keluarga pasien harus kehilangan anggota keluarga mereka dalam waktu singkat.

Hatinya bergetar. Pandemi membuatnya menyadari betapa waktu terasa begitu cepat berlalu. Dan ia, sebagai seorang muslimah, masih belum banyak melakukan kebajikan. Ibadah seadanya. Beramal saleh sekadarnya.

Pandemi mengajarkan tentang betapa singkat waktu yang dimiliki manusia di dunia ini.

Ia memilih mengambil pekerjaan yang memungkinkannya punya lebih banyak waktu bersama keluarga. Silaturahim terjalin lebih dalam. Membuat hatinya lebih damai. Membuat pikirannya lebih terbuka. Juga memberinya kesempatan untuk lebih banyak berbuat baik kepada sesama. Sebelum ajal menjemput.

Kisah kedua datang dari Dahlia. Pada akhir tahun 2020, suami dan anak pertamanya yang masih berusia 8 tahun terpapar Covid-19. Sang suami mengalami demam yang naik turun sedangkan putranya mengalami batuk.

Ketika itu ia masih bisa tersenyum, menguatkan dirinya juga demi mengurus si bungsu. Dahlia mendapat banyak dukungan moril dan material kebutuhan rumah tangga dari saudara serta sahabat. Itulah salah satu hikmah pandemi yaitu menajamkan empati banyak orang.

Dua bulan berlalu. Sempat dinyatakan sembuh, namun kondisi sang suami memburuk hingga Allah Swt. memanggilnya. Saat itu Dahlia merasa dunianya runtuh. Ditinggalkan bersama dua anak yang masih kecil, sementara ia selama ini mengabdi menjadi ibu rumah tangga. Sesekali berjualan makanan dan obat-obatan herbal.

Namun pandemi kemudian mengukuhkan dirinya. Dahlia tak ingin larut dalam kepedihan.

Ia memutuskan kembali ke rumah orangtuanya. Menyiapkan berkas administrasi untuk putra sulungnya pindah sekolah. Dari sekolah swasta ke sekolah negeri. Ia memperbaiki sedikit rusak di sana-sini dan membersihkan rumah, mengambil foto rumah dari luar dan ruangan di dalam. Mengiklankan rumah untuk dikontrakkan.

Setelah anak-anaknya tertidur, Dahlia rutin membuka laptop. Melihat iklan lowongan pekerjaan. Ia jelajahi media sosial dan ruang chat, menghubungi sanak saudara dan teman-teman semasa kuliah dan bekerja dulu. Ikhtiar untuk menjadi pencari nafkah.

Ia memandangi dua jagoan ciliknya setiap malam. Sembari mulutnya melafalkan takbir dan berkata, "kita pasti bisa."

Kehilangan juga dirasakan Mawar, meski jalannya berbeda. Genap 27 tahun menikah, ia memberanikan diri mengajukan cerai di pengadilan agama. Puluhan tahun ia bertahan dalam KDRT. Suaminya hampir tak pernah memukul, tapi kekerasan verbal menderanya setiap hari. Segala umpatan kasar yang tak pantas diucapkan, terlontar setiap hari. Bentakan dan caci maki mewarnai hari-harinya.

Padahal Mawar telah berusaha keras menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Semua urusan rumah tangga diurusnya. Ia pun menjadi 'tangan kanan' sang suami dalam bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Dahlia memastikan semua dokumen resmi terpenuhi. Ia juga memastikan semua tenaga kerja mendapat pelatihan yang memadai.

Sang suami biasanya meminta maaf. Tapi itu terus berulang selama 27 tahun pernikahan. Tiada hari tanpa teriakan sang kepala keluarga. Entah apa yang membuatnya tak mampu mengendalikan emosi hanya karena hal-hal sepele.

Maka ketika kedua anaknya telah dewasa, Mawar merasa tak ada lagi yang menahannya untuk bercerai. Sejak pandemi, bisnis sedang tiarap. Toh, ia tidak mengharapkan harta gono-gini. Ia memilih pergi diam-diam dari rumah.

Anak-anak mendukungnya. Mereka merasa ibu yang mereka sangat kasihi itu tak pantas untuk diperlakukan semena-mena. Ibu yang telah membesarkan dan medidik mereka dengan begitu baik. Di mata mereka, Mawar adalah ibu yang sempurna.

Ia kini perlahan menata hati dan hidupnya. Baginya ini jalan mendekat kepada Allah Swt. juga memerdekakan dirinya dari keburukan dunia yang menghimpit jiwanya selama ini. Ia hanya berdoa semoga Allah tidak membencinya karena memilih jalan yang dibenci-Nya.

Idul Fitri kita mungkin tidak dilalui dengan makna sedalam yang dirasakan Melati, Dahlia, dan Mawar. Namun bukan lantas kita tidak mampu membuka hati untuk menerima takdir Allah yang tersaji selama pandemi. Ini saatnya memanjatkan munajat syukur sedalam-dalamnya karena masih waktu untuk bertaubat dan memelihara hidayah.

Semoga hati kita kembali fitri.




Mematahkan Mitos Menikah di Bulan Syawal

Sebelumnya

Menyibak Rahasia Syawal

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur