IBU sambung atau terlebih lagi ibu tiri, seperti telah mendapat stereotip yang kurang mengenakkan. Dari itulah, gambaran umum yang terbetik di benak kebanyakan orang, bahwa ibu tiri itu jahat bahkan kejam. Dan hingga di era modern ini, stereotip macam itu masih saja laku, aneh bukan?
Betapa malangnya mereka yang hidup dibayangi oleh stereotip, cap jelek kadung melekat, meski dirinya telah mati-matian berusaha melakukan yang terbaik. Andai kita yang mengalami macam ini, masih dapatkah menikmati anugerah hidup?
Episode #1:
“Saya hanya ibu sambung,” keluh perempuan muda itu.
Apapun yang dilakukannya untuk anak-anak suaminya, selalu saja salah, dicurigai bahkan dibully oleh tetangga, juga sanak keluarga. Pernah wanita muda itu kabur ke kampungnya, tak tahan dengan tekanan masyarakat.
Dia masih gadis belia saat dilamar. Bahkan, ia pun menerima lapang dada, tatkala suaminya langsung memberi tiga orang buah hati. Meski tidak punya pengalaman punya anak, dirinya berupaya merawat dan mendidik mereka, dan berjuang keras mencukupi segala kebutuhan pendidikan di saat pendapatan suami yang amat pas-pasan. Bahkan dirinya pun ikut kerja serabutan demi memperjuangkan nafkah keluarga agar selamat hingga akhir bulan.
Akan tetapi, publik terlanjur memandang miring terhadap ibu sambung, sehingga membuat dirinya jadi serba salah. Ketika dirinya bersikap tegas kepada anak-anak, eh malah dituduh melakukan kejahatan. Padahal mendidik itu kan juga membutuhkan ketegasan.
Episode #2:
Belasan tahun mencari-cari, akhirnya gadis itu menemukan ibu kandungnya. Dia tidak punya kenangan apapun, karena ibunya pergi tak lama setelah dirinya lahir. Ayahnya kebingungan, antara mengasuh anak dengan mencari nafkah. Syukurlah ada wanita yang bersedia menjadi istrinya sekaligus ibu dari bayinya. Ibu sambung itulah yang berjuang keras hingga bayi itu kini menjadi gadis yang cemerlang.
Gadis itu sempat menanyakan, mengapa ditinggalkan ketika masih bayi. Ibu kandung itu menjawab santai, “Capek ah, mengurus bayi!” Singkat sekali percakapan ibu anak itu, karena memang tidak ada jalinan hati.
Tatkala ibu sambungnya meninggal dunia, gadis itu amatlah terpukul. Padahal dirinya telah memberikan bakti, akan tetapi dirinya masih belum mampu membalas kebaikan ibu sambung. Kasih sayang yang dilimpahkan ibu sambung teramat membekas di sanubarinya.
Episode #3:
Lamaran pasangan artis memang selalu menarik. Orang-orang pun akan mencari-cari apa saja yang dapat dijadikan buah bibir. Makanya lamaran menjelang pernikahan artis ini jadi heboh, tatkala menghadirkan ibu kandung dan satu lagi ibu sambung. Maka, jauh-jauh hari, para penggemar telah menanti-nantikan kejadian apa yang akan dijadikan buah bibir.
Uniknya, belum lagi acara itu berlangsung, sebagian orang sudah terlanjur mulai membuat kesimpulan pribadi. Ya, apalagi kalau bukan stereotip terhadap ibu sambung. Sebagian sih!
Ketika acara lamaran berlangsung, berbagai bahan buah bibir pun diperoleh publik, di antaranya calon pengantin perempuan dipandang lebih bersikap hangat terhadap ibu sambung dibanding ibu kandang.
Sebagian orang pun berdecak kagum, melihat ibu sambung yang hatinya bak malaikat. Artis yang lagi dilamar itu pun tak dapat menyembunyikan keharuan dan berterima kasih atas jasa ibu sambung yang menyelamatkan hidupnya akibat trauma perceraian orangtua terdahulu.
Bahkan pakar-pakar pun bermunculan komentarnya, ada yang beranggapan artis itu terlihat kaku dengan ibu kandungnya, dan meyakini ada persoalan antara keduanya yang belum kelar. Ya, begitulah kehidupan artis! Segala dimensi dikomentari publik, dikorek-korek, lalu diulas panjang lebar.
Betulkah artis itu lebih sayang kepada ibu sambung dibanding ibu kandung? Benarkah demikian? Hanya Allah yang dapat menilai hati hamba-Nya. Kita tidak akan mencampuri kekuasaan Tuhan. Dan yang dapat kita kupas di saat ini adalah persoalan stereotip.
Betapa pentingnya memandang segala sesuatunya dengan adil. Hindarilah melakukan generalisasi, apalagi memandang buruk terhadap orang lain tanpa diserta fakta. Kebaikan itu menjadi nilai sejati seseorang, ibu sambung yang berbuat baik pun akan memperoleh balasan yang manis. Karena hati anak juga sama dengan hati manusia lainnya, yang dapat mengetahui mana yang baik dan pantas pula mendapatkan kebaikan.
Memang sih kita dianjurkan berbuat baik kepada siapa saja, apalagi terhadap ibu kandung. Namun, siapa pula yang dapat mencegah kalau hati anak menjadi hangat kepada ibu sambungnya yang kasih sayangnya dapat dirasakan luar biasa ?
Jadikanlah ini sebagai introspeksi diri, selama kita baik, apapun statusnya entah itu ibu kandung atau ibu sambung, maka kebaikan itulah yang akan memikat hati anak, hati suami dan hati-hati makhluk Tuhan lainnya.
Nabi Muhammad tidak memiliki ibu tiri, tetapi bukan berarti beliau tidak memiliki ibu-ibu lainnya yang sejatinya bukan ibu kandung. Dan jangan kaget, kalau Rasulullah memberikan penghormatan dan bakti yang luar biasa untuk ibu-ibu tersebut.
“Dia adalah ibuku setelah ibuku,” demikianlah perkataan Nabi Muhammad untuk Ummu Aiman.
Siapakah dia? Sebetulnya Ummu Aiman adalah budak dari Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Tapi kok bisa Rasul menyebut budak itu ibunya?
Ketika Bunda Aminah melahirkan Nabi Muhammad, Ummu Aiman yang mendampinginya. Saat Aminah dimakamkan di Abwa, dekat Madinah, Nabi Muhammad kembali ke Mekkah ditemani oleh Ummu Aiman mengharungi padang pasir yang luas. Setelah ayah ibunya meninggal dunia, Ummu Aiman yang mengasuh Nabi Muhammad.
Kebaikan yang demikian hebat dari Ummu Aiman yang membuat Rasul menyebutnya sebagai ibu, tidak peduli pandangan remah orang terhadap budak. Dan berbagai kebaikan juga diberikan oleh beliau kepada Ummu Aiman itu.
Di antaranya, Moenawar Chalil dalam buku Kelengkapan Tarikh menyebutkan, bahwa mengenai Ummu Aiman, Nabi saw. mengawinkannya dengan Zaid bin Harits, seorang hamba sahaya Khadijah yang diberikan kepada beliau dan sudah beliau merdekakan. Dari pernikahan Ummu Aiman dengan Zaid bin Harits lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Usamah. Setelah Usamah bin Zaid dewasa, ia menjadi sahabat karib Nabi saw. dan menjadi pembela Islam yang terkemuka.
Masih ada ibu lain yang diakui dan disayangi oleh Rasulullah, yaitu Halimah Sa’diyyah, yang menyusui dan mengasuh beliau dari bayi hingga berusia 5 tahun. Lama sekali mereka tidak berjumpa, akan tetapi Nabi Muhammad tidak lupa untuk menghormati dan memberikan perlakuan yang manis.
KOMENTAR ANDA