Dari kualitas seorang ibu dapat dipahami kecemerlangan anak-anaknya/ Net
Dari kualitas seorang ibu dapat dipahami kecemerlangan anak-anaknya/ Net
KOMENTAR

APABILA Anda percaya kecerdasan anak turun dari ibunya, maka sosok Nawwar binti Malik ini menjadi amat menggoda untuk diulas.

Ali As-Sahbuny dalam Kamus Al-Qur'an: Quranic Explorer menyebutkan, Zaid bin Tsabit menjadi sekretaris Nabi untuk menulis wahyu-wahyu dan menulis surat-surat kepada orang Yahudi. Ia sangat cerdas dan cepat memahami bahasa asing. Menurut satu riwayat, bahasa Yahudi dipelajarinya dalam waktu 17 hari.

Kecerdasan dan luasnya pengetahuan membuat ia dijuluki “ulama masyarakat”.  Ia juga terkenal sebagai ahli ilmu fara'id (pembagian harta pusaka). Zaid bin Tsabit merupakan ulama pada masanya.

Abdullah bin Abbas, misalnya sering mendatangi rumahnya untuk berguru, padahal Abdullah bin Abbas sendiri dikenal sebagai Bapak para Mufasir Al-Qur'an.

Akan amat panjang ceritanya bila mengupas kecerdasan Zaid bin Tsabit. Dan, ibunya, Nawwar binti Malik bukan hanya menurunkan gen cerdas, tetapi juga memahami potensi brilian anaknya dan menyalurkan dengan tepat.

Suatu hari, saat bertemu ibunya, Zaid bin Tsabit berkata kecewa, “Nabi melarangku ikut berjihad.”

Tentunya larangan Rasulullah itu masuk akal, karena ketika itu usianya baru berkisar 13 tahun. Akan tetapi Nawwar binti Malik tak mau anaknya larut dalam kecewa. Sang ibu menegaskan putranya bisa berjuang demi agama dengan bentuk jihad yang lain, dengan mengandalkan kecerdasannya.

Bukan asal menggombal, Nawwar menemui Nabi Muhammad menyampaikan potensi putranya. Ini dijelaskan Ibnu Marzuqi Al-Gharani dalam buku The Great Mothers, bahwa Nawwar berkata, “Ya Rasulullah, anak kami Zaid bin Tsabit ini hafal 17 surah dari Al-Qur'an dan ia membacanya dengan benar sebagaimana ketika wahyu itu diturunkan kepadamu. Terlebih lagi, ia pandai membaca dan menulis. Ia ingin agar dengan kemampuannya tersebut bisa dekat dan menetap denganmu. Jika engkau sudi, simaklah bacaannya.”  
 
Setelah mendengarnya beliau terpukau dan mengakui kehebatan hafalan Zaid bin Tsabit. Beliau juga sangat menghargai kecakapan baca tulis yang dimiliki remaja belasan tahun itu.

Mari kita tarik kisah Nawwar ke belakang, berkisar lima tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Harusnya kematian suami membuat perempuan itu terpuruk, maklum suaminya mati sebagai akibat dari permusuhan berlarut antara suku Aus dan Khazraj. Perang saudara di Bu’ats terjadi gara-gara dua kubu pribumi Madinah yang terus bertikai dihasut pihak Yahudi.

Tetapi Nawwar menunjukkan kecerdasan nan cemerlang, dia tidak dendam dan tidak mewariskan rasa sakit itu pada putranya. Dia menyimpulkan suaminya mati karena kebodohan jahiliyah suku-suku di Madinah yang mewariskan permusuhan abadi. Dan Nawwar pun berpandangan perlu langkah supercerdas untuk menghentikan korban-korban berikutnya.

Tatkala agama baru saja Islam disyiarkan, maka Nawwar langsung menjadi muslimah. Dia pun menyambut baik hijrahnya Nabi Muhammad, karena beliau menjadi sosok pemersatu yang akan menghentikan pertikaian berlarut suku-suku pribumi Madinah. Berikutnya persahabatan Nawwar makin mengental dengan Rasulullah dan kiprahnya kian membesar dalam syiar Islam.
 
Nawwar amat mencintai Al-Qur’an dan mengajarkan pada putranya, serta mendidik anaknya dengan baik, hingga memiliki kecakapan dan kecerdasan menakjubkan. Anaknya itu menjadi sekretaris Nabi di usia belia, dan menguasai bahasa Ibrani dan Suryani dalam hitungan hari saja. Dia menyiapkan generasi Rabbani, yang cerdas menghadapi zamannya.

Berikut ini beberapa cuplikan peristiwa hidup Nawwar, sebagaimana yang tercantum dalam buku Nisa Min ‘Asri Nubuwwah karya Ahmad Khalil Jam’ah:

Pertama kalinya tiba di Madinah, Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Beliau mendapatkan banyak kiriman makanan dari pihak Anshar, dan yang pertama kali mengantarkannya adalah Nawwar.

Zaid bin Tsabit mengatakan:

Hadiah pertama yang diterima Rasulullah ketika masih di rumah Abu Ayyub adalah sepiring makanan yang dikirim ibuku melaluiku. Di dalamnya terdapat roti yang dilumuri minyak samin dan susu. Aku menaruhnya di hadapan beliau dan kukatakan, “Wahai Rasulullah, ibuku mengirimkan sepiring makanan ini.”

Rasulullah berkata, “Semoga Allah memberkahimu dan ibumu.”

Tempat tinggal Nawwar adalah rumah tertinggi yang berada di dekat masjid. Bilal sering memanjat puncak rumah Nawwar untuk mengumandangkan azan. Nawwar menjadi amat mulia karena rumahnya menjadi menara pertama untuk mengumandangkan azan.    

Sebagai buah persahabatan dengan Rasulullah yang didapatkan oleh Nawwar adalah cintanya kepada hadis yang mulia.  

Kita mengenal kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan lain-lainnya. Beberapa kejadian ini dapat memberi pemahaman mengenai kecerdasan yang dimiliki Nawwar. Dari kualitas ibunya dapat dipahami kecemerlangan anaknya.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur