Tawakal lahir dari kekuatan iman/Net
Tawakal lahir dari kekuatan iman/Net
KOMENTAR

SETELAH lebih dari 20 tahun berlalu, banyak sekali perubahan terjadi (memang demikian lazimnya kehidupan). Apalagi telah lama tak berjumpa, maka perubahan itu akan banyak mengagetkan. Dan reuni SMA itu menjadi ajang kejutan demi kejutan itu.

Dahulu, dirinya yang paling mungil, paling miskin, paling malang, paling tanpa harapan dan paling sering pula menjadi bahan bullying. Dan remaja mungil itu tidak pernah menyerah. Tapi mengapa dia sering dijadikan bahan olok-olokan atau korban perundungan (bullying)?

Teman-temannya berkata, “Toh, dia akan pasrah saja!”

Gadis ceking itu kelihatannya saja tidak berdaya, tetapi sesungguhnya ia menghimpun energi tawakal. Memang dirinya yang paling sering terpuruk, tetapi pasrah tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Hingga kepahitan, kegetiran atau kemalangan itu dilaluinya dengan tawakal yang terus meningkat derajatnya, kemudian Tuhan pun menunjukkan keadilan-Nya.

Kini, banyak mata tertuju kepada perempuan itu setelah dirinya berjaya. Eksistensi dirinya bukan cuma di level nasional, bahkan kini ia terus melaju hendak memecahkan rekor dunia. Rekan-rekannya terdahulu kaget-kaget, mantra apa yang dipakai anak malang itu hingga mampu menjungkir-balikkan keadaan secara dramatis?

Kita pun akan sering menemukan orang-orang yang dulunya lemah tiada daya, yang hanya jadi bulan-bulanan arogansi pihak lain, lalu bersama gelombang waktu dirinya mampu tampil impresif meninggalkan barisan nasib pengolok-olok tersebut. Dan dirinya demikian tangguh menghadapi badai kehidupan, tidak terlepas dari sikap tawakalnya.

Memang jarang yang tahu betapa energi tawakal itu luar biasa menakjubkan, karena sekilas tawakal lebih kepada kepasrahan. Padahal tawakal dengan pasrah jelas jauh beda!

Secara sederhana, keduanya dapat dibedakan: tawakal dibarengi usaha, doa dan menyerahkan hasilnya kepada kuasa Tuhan, sedangkan pasrah menyerah total, dan membiarkan nasib yang menghempaskan dirinya. Tawakal lahir dari kekuatan iman, sementara kepasrahan buah dari kelemahan hati.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Buku Pintar Tasawuf menerangkan, bahwa tawakal memiliki tiga tingkatan: tawakal, kemudian taslim, lalu tafwidh. Orang yang bertawakal merasa tenteram dengan janji Tuhannya. Orang yang ber-taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Dan orang yang ber-tafwidh merasa rida dengan hukum ketentuan-Nya. Ada juga yang mengatakan, tawakal adalah permulaan yang ditengahi oleh taslim dan dipuncaki dengan tafwidh.

Jadi, kalau mau sampai ke puncak tawakal, maka ridalah dengan ketentuan Allah hingga memperoleh derajat tafwidh. Dari sana pula energi kehidupan itu akan lebih menguatkan diri kita. Demi lebih meresapi derajat tertinggi tawakal ini, berikut penjelasan selanjutnya.

M. Fethullah Gulen dalam buku Tasawuf Untuk Kita Semua mengungkapkan, bahwa tawakal adalah sikap hamba untuk menjadikan Tuhannya sebagai tempatnya bergantung demi kemaslahatannya, baik pada urusan duniawi maupun ukhrawi.

Adapun tafwidh adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pengakuan terhadap esensi yang ada di balik sikap tawakal dengan menggunakan perasaan hati.

Dengan kata lain, tawakal adalah ketika seorang manusia bersandar kepada Allah dan segala yang dimiliki-Nya serta menutup semua pintu dari yang selain Dia. Kita juga mengatakan bahwa tawakal adalah membaktikan tubuh dalam ubudiyah dan mengaitkan hati dengan rububiyah.

Syihab bersyair tentang masalah ini:
Tawakal-lah kepada Rahman di segala urusan.
Pasti tidak rugi orang yang bertawakal kepada-Nya.
Jadilah orang yang percaya kepada Allah dan sabarlah atas ketetapan-Nya.
Pasti kau raih segala anugerah yang kau harap dari-Nya.

Sayyidina Umar ingin menunjukkan pengertian seperti ini dalam surat yang ia kirim kepada Abu Musa al-Asy'ari yang berbunyi, “Amma ba'du, sesungguhnya semua kebaikan terkandung dalam keridaan. Jadi jika kamu mampu, bersikap ridalah engkau. tapi jika tidak, maka bersabarlah.”

Tibalah masanya bagi kita memahami dan memaksimalkan energi tawakal hingga pada derajatnya yang tertinggi. Bukannya menyerah pasrah atas hempasan nasib, melainkan gerak yang terus dinamis bersama sikap rida yang paripurna.

 




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur