Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KARENA manusia pertama diciptakan dari tanah dan seluruh keturunannya akan kembali ke tanah. Tidak dibedakan mana yang putih, mana yang kuning, mana yang hitam. Semua manusia sama kedudukannya. SEMUA NYAWA BERHARGA.

Ayat 26 surah Al-Hijr mengisahkan asal penciptaan Nabi Adam as. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”

Adam (manusia) diberi amanah oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Lalu seperti yang tertulis dalam surah Al-Baqarah ayat 30, malaikat bertanya mengapa Allah mengutus manusia menjadi khalifah padahal manusia mampu berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Sementara mereka (malaikat) terbuat dari cahaya dan tak pernah berhenti bertasbih mensucikan Allah. Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”

Ternyata Allah memberikan kelebihan kepada Adam berupa akal pikiran untuk mengetahui berbagai nama benda. Karena kelebihan itulah, Allah memerintahkan malaikat dan iblis sujud kepada Adam. Dan seperti yang kita tahu, iblis akhirnya terusir dari surga karena kesombongannya menolak bersujud kepada Adam. Dia menganggap dirinya yang terbuat dari api lebih mulia dari Adam yang terbuat dari segenggam tanah.

Rasa “sombong” pulalah yang kemudian membuat Adam dan Hawa terusir dari surga. Mereka tidak mematuhi larangan Allah untuk memakan satu buah di surga yang disebut setan sebagai buah khuld (keabadian). Mereka tergoda bisikan setan dan melupakan kepatuhan mereka kepada Allah Swt. Maka Adam dan Hawa menjadi manusia pertama yang tinggal di bumi.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, diceritakan bahwa Adam diciptakan dari segenggam tanah yang Allah ambil dari seluruh permukaan tanah. Dengan begitu, lahirlah anak-anak Adam sesuai asal tanahnya. Ada yang berkulit putih, merah, hitam, dan perpaduan warna-warna tersebut. Ada yang berperangai lembut, kasar, dan perpaduan antara keduanya, ada yang baik juga ada yang jahat.

Dari kisah penciptaan Adam as., kita mengetahui bahwa ketetapan Allah Swt. terkadang memiliki hikmah yang tidak mampu dipahami para makhlukNya. Namun seorang yang beriman kepada Allah pasti meyakini bahwa tidak ada ketetapan Allah yang tidak membawa kebaikan bagi makhlukNya. Maka keimanan membuatnya senantiasa istiqamah dalam Islam.

Allah telah menyediakan alam dan seisinya untuk dijadikan tempat tinggal bagi manusia. Manusia diberi amanah menjadi khalifah di muka bumi karena memiliki akal. Dengan akalnya, manusia bisa membuat berbagai benda, mengolahnya, dan menyempurnakannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya di dunia.

Dengan akal, manusia seharusnya bisa merawat bumi, bukan merusaknya. Dengan akal pula, manusia seharusnya bisa menjaga ketenteraman dengan sesama manusia.

Namun nyatanya tidak. Seperti halnya Adam, maka anak cucu Adam pun tak terbebas dari bisikan setan. Karena Allah membolehkan setan mengganggu anak cucu Adam hingga akhir zaman.

Dengan liciknya, setan mengagung-agungkan akal manusia. Setan pula yang mengobarkan keangkuhan dalam diri manusia untuk merasa bahwa dirinya lebih baik dari yang lain. Hingga layaknya Habil dan Qabil, pertikaian, perkelahian, peperangan, dan pembunuhan selalu terjadi di muka bumi.

“Wahai anak Adam! Janganlah kalian terfitnah oleh syaithan, sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orangtua kalian dari surga.” (QS. Al-A’raf: 27)

Maka jalan hidup kita di dunia penuh duri dan kerikil tajam. Sungguh tak mudah melawan bisikan setan untuk tidak menjadi sombong. Begitu mudahnya kita memandang orang lain dengan sebelah mata, seringkali hanya dari penampilan luarnya. Begitu mudahnya kita mengejek orang lain yang berbuat dosa, padahal perilaku kita mengejeknya pun sudah ditimbang sebagai dosa. Naudzubillah.

Dalam skala yang lebih besar, ada orang-orang yang merasa bahwa warna kulit mereka lebih baik dari yang lain. Ras mereka lebih mulia dari yang lain.Tentulah mereka telah terbawa bisikan setan. Mereka lupa, bahwa sejatinya semua manusia berasal dari segenggam tanah. Dan tak peduli ketika akhirnya lahir ke dunia dengan berkulit kuning, berkulit hitam, atau berkulit putih, hakikat manusia tetap akan kembali ke tanah.

Seseorang yang mengenal Islam dan memahami ajaran Islam TIDAK AKAN PERNAH menganggap dirinya lebih baik dari orang lain karena dia tahu kedudukan semua manusia sama di mata Allah. Yang membedakan derajat manusia di mata Allah hanyalah ketakwaan. Siapa bertakwa, maka dia lebih mulia.

Orang yang bertakwa sudah pasti beriman kepada Allah dan menaati semua perintah Allah. Itu artinya dia memanfaatkan akalnya untuk senantiasa teguh pada tugasnya di dunia yaitu menjadi khalifah. Dia memahami bahwa khalifah yang baik adalah hamba Allah yang baik. Dia berbuat amal salih, yang tidak hanya diwujudkan dalam mengerjakan ibadah salat, puasa, dan berzikir, tapi juga berhusnudzan (berbaik sangka), berzakat dan bersedekah, serta berakhlak karimah (mulia) dengan sesama manusia.

Orang yang mengagungkan supremacism (ideologi yang meyakini satu kelompok lebih superior dari yang lain) maka seharusnya dia melihat keindahan konsep kemanusiaan yang ada dalam Islam. Race supremacy hanyalah sebuah kebohongan yang dibuat setan untuk membuat manusia saling membenci satu sama lain dan saling menghancurkan. Dengan begitu, akan semakin banyak pengikut setan yang masuk ke neraka.

Tidak ada manusia yang meminta untuk dilahirkan dengan warna kulitnya. Karena itulah manusia tidak selayaknya mendiskriminasi manusia lain berdasarkan warna kulit. Sekali lagi, ingatlah Adam as. Ingatlah bahwa kita hanya tanah. Sama-sama tanah. Semua manusia sama kedudukannya. SEMUA NYAWA BERHARGA.

Semakin jauh seseorang dari Islam, semakin jauh dia dari konsep equality dan keadilan. Semakin benci seseorang kepada Islam, semakin bengis perilaku dan tabiatnya. Dan semakin takut seseorang terhadap Islam, semakin terbuka kesempatannya untuk menyakiti dan menghabisi nyawa orang lain.

Islam sebagai rahmatan lil alamin, membawa konsep amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) bagi seluruh umat manusia. Ajaran Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Tengoklah keluhuran ajaran Islam, agar kita bisa menemukan kedamaian pribadi dan kedamaian dunia.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur