Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

IDUL Fitri tahun ini tampaknya akan cukup berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Mudik menjadi amat sulit, silaturahmi lebih mengandalkan kontak jarak jauh. Tatap muka berkurang dramatis, berganti dengan bantuan teknologi informasi.

Tetapi yang berbeda bukan itu saja, akan ada pertambahan kemiskinan, akan ada yang kelaparan. Tidak semua meja makan punya ketupat. Tidak setiap dapur berasap. Sejatinya tidak ada yang tetap di muka bumi, karena dunia memang selalu berubah.

Wabah Covid-19 bukan saja menyerang aspek kesehatan, tapi juga membinasakan sendi-sendi ekonomi. Kondisinya sama-sama menyeramkan; keluar rumah mati kena wabah atau berada dalam rumah tapi mati kelaparan. Ini bukan ibarat makan buah simalakama lagi, masalahnya memang lebih pelik.

Sekalipun di masa Rasulullah belum ada Covid-19, tetapi krisis ekonomi terjadi berkali-kali. Bahkan krisis itu juga berlangsung dalam nuansa lebaran. Mata cinta yang dimiliki Rasulullah dengan cermat mengamati lingkungannya. Dan beliau dengan cepat memberikan solusi atas krisis tersebut.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa di hari itu telah usai dilaksanakan shalat Idul Fitri. Kaum muslimin berbahagia, anak-anaknya ceria. Dengan jeli Nabi Muhammad melihat seorang anak yang bermuram durja dan menyeka airmata. Rasulullah menghampiri dan menanyakan perihal duka laranya di hari raya.

Kondisi anak itu sungguh malang. Ayahnya mati syahid ketika berperang membela agama dan umat Islam. Setelah itu, kehidupan keluarganya terkapar dalam keprihatinan yang menyakitkan.

Nabi Muhammad segera membuat keputusan tepat. Beliau berkata ramah, “Maukah Fatimah menjadi saudaramu, Aisyah sebagai ibumu dan Nabi Muhammad jadi ayahmu.”

Tawaran yang teramat indah itu tidak mungkin ditolak. Kemudian beliau membawa bocah malang itu kepada keluarga Rasulullah. Seketika lenyaplah segala lara, anak itu pun dapat tersenyum bahagia.

Rasulullah tidak sendirian dalam menyukseskan proyek kemanusiaan tersebut, karena ada dua perempuan mulia yang terlibat aktif. Fatimah yang merupakan putri kesayangan Rasulullah itu mencurahkan kasih layaknya saudara kandung. Sedangkan Aisyah melimpahkan cinta layaknya sebagai ibu sejati. Sedangkan Nabi Muhammad tampil sebagai pengayom layaknya peran seorang ayah.

Fatimah tidaklah memandang anak itu sabagai saingan dalam cinta kasih ayahnya. Karena Fatimah adalah anak baik yang memahami hari raya Idul Fitri merupakan kemenangan bersama umat Islam. Pemenangnya bukan satu orang, tetapi semuanya berhak untuk bahagia

Aisyah tidak melihat bocah itu anak kandung atau bukan. Karena setiap muslimah merupakan ibu bagi anak-anak muslim. Keluarganya memang hidup dalam kesederhanaan, tetapi itu bukan berarti Aisyah terhalang untuk menebar kebaikan.

Tidak diragukan lagi komitmen Nabi Muhammad berada di garda terdepan dalam proyek-proyek kemanusiaan. Dan yang menakjubkan itu, bagaimana kepiawaian beliau dalam merangkul keluarganya.

Sisi menarik lainnya, Rasulullah beserta keluarganya tidak hanya memberikan makanan, pakaian dan kebutuhan pokoknya lainnya. Materi tidaklah jaminan kebahagiaan hidup. Dari itulah anak tersebut diberi kehormatan menjadi bagian dari keluarga Rasulullah. Apabila anak itu hanya diberikan kebutuhan materi tanpa diisi jiwanya, maka dia berpotensi tumbuh dengan mental peminta-minta atau pengharap belas kasihan.

Ketika Rasulullah memberinya penghargaan dan penghormatan, maka anak itu tumbuh menjadi pribadi mulia. Kepribadiannya menjadi tangguh berkat rasa percaya diri nan tinggi. Karena dirinya meneladani kehormatan yang dijunjung tinggi keluarga Rasulullah.

Aspek inilah yang perlu kita perhatikan ketika ingin memberikan bantuan. Jangan berhenti hanya memberikan materi. Tetapi berilah mereka itu penghormatan dan jadikan mereka memiliki harga diri. Kelak, harga diri itulah yang membuat mereka bangkit dan menjadi pejuang kehidupan.

Apabila kita memandang dari dimensi sufistik, maka sebenarnya tidak ada kejadian yang benar-benar buruk. Segalanya terjadi atas izin Allah, yang sepahit apapun pastinya menyimpan mutiara-mutiara hikmah. Wabah Corona beserta krisis yang menyertainya, insyallah akan membuat diri kita menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih peka terhadap kondisi lingkungan. Lebih memiliki empati terhadap kemalangan pihak lain. Lebih pandai bersyukur atas limpahan karunia Allah yang sebelumnya terabaikan.  
 
Setiap zaman ada krisisnya, nama dan bentuknya saja yang berbeda-beda. Kini, kita dihadapkan dengan wabah Corona tetapi resep Rasulullah masih aktual untuk diamalkan. Tanpa pernah bertatap muka dengan Nabi Muhammad bukanlah berarti kita tidak mampu menyerap energi cintanya. Bahkan dengan mengamalkan tuntunannya, kita dapat menghadirkan semangat Rasulullah dalam Idul Fitri kali ini.




Menyikapi Toxic People Sesuai Anjuran Al-Qur’an

Sebelumnya

Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur