Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KISAH ini tentang Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari, sahabat Rasulullah. Ia salah seorang sahabat Nabi Muhammad dan merupakan penulis wahyu dan surat-surat Nabi. Tsabit Al Anshari juga merupakan keturunan Bani Khazraj yang mulai tinggal bersama Nabi Muhammad ketika ia hijrah ke Madinah.

Ketika berusia berusia 11 tahun, Tsabit dikabarkan telah dapat menghafal 11 surah Alquran. Ia turut serta bersama Nabi Muhammad dalam perperangan Khandaq dan peperangan-peperangan lainnya.

Selain setia menemani Nabi Muhammad, ia merupakan sahabat Nabi yang sangat dermawan. Tsabit dikenal mempunyai sifat mulia. Hal tersebut dituliskan dalam Tafsir al Ma'tsur karangan Imam Jalaluddin.

Suatu hari, sesaat sebelum waktu maghrib tiba rumah Tsabit kedatangan tamu. Tamu tersebut merupakan seorang musafir yang tak memiliki bekal.

Sang musafir datang ke rumah Tsabit tanpa sedikit pun bekal yang bisa dimakan untuk berbuka puasa. Saat itu Tsabit bingung. Pasalnya, ia ingat pesan-pesan Nabi tentang kesunahan memuliakan tamu.

Sayangnya, pada saat itu kondisi ekonomi Tsabit sedang sulit. Ia hanya memiliki makanan yang sangat terbatas untuk berbuka bersama keluarganya.

Selepas mempersilakan masuk orang yang bertandang ke rumahnya itu Tsabit berbisik kepada sang istri, "Apakah ada makanan untuk petang ini?"

Sang istri pun turut gundah. Ia menjawab, "Demi Allah, wahai suamiku. Tidak ada lagi makanan yang kusimpan, terkecuali sedikit".

Mendengar jawaban sang istri Tsabit terdiam sambil memutar otak. Akhirnya Tsabit menemukan siasat untuk mengatasi hal tersebut.

"Aku membawa seorang tamu. Jika kami mulai makan, padamkanlah lampu dan berpura-puralah memperbaikinya. Selama perut tamu kita belum kenyang, jangan makan sedikit pun dari makanan itu," bisik Tsabit, dibalas anggukan istrinya.

Waktu yang dinanti tiba. Sang tamu dipersilakan menyantap hidangan yang serba pas-pasan itu. Namun, Tsabit dan istrinya cuma berkecap-kecap seolah turut bersantap, padahal ujung tangan keduanya sama sekali tak menyentuh hidangan.

Keesokan harinya, sang tamu pamit untuk melanjutkan perjalanan. Tsabit pun kembali menghadiri majelis untuk mendapatkan berkah dan pencerahan dari Nabi.

Ketika Tsabit dan Nabi berjumpa, tiba-tiba Nabi tersenyum dan bersabda:

"Wahai Tsabit, Allah SWT menghargai pelayananmu terhadap tamumu semalam".

Mendengar jawaban Nabi, Tsabit tersentak yang diselimuti rasa bahagia, malu, sekaligus terharu bercampur di dadanya.




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur