KISAH mualaf kali ini datang dari seorang Darren Mak. Ia adalah pemuda keturunan China asal Singapura. Sebagai anak yang masih belia, Mak memiliki kelebihan yang cukup langka, yaitu mampu memahami 14 bahasa. Kelebihannya ini disebut polyglot.
Sekilas tidak ada yang menarik dari diri Mak. Orang mengira ia hanyalah pemuda sederhana yang ramah. Padahal di balik itu semua, ia pernah mengalami depresiasi yang luar biasa. Sebelum mengenal Islam, Mak adalah pribadi pemarah bahkan beberapa kali mencoba melakukan bunuh diri.
"Saya banyak berpikir tentang kematian, karena apa gunanya (hidup)? Kadang-kadang saya mencari tahu cara yang paling tidak menyakitkan untuk bunuh diri dan merencanakan untuk melakukannya," aku dia.
Memang tidak ada yang menarik dari diri Mak. Bahkan meski ia seorang polyglot, prestasinya di sekolah tidak baik. Mak juga terkenal sebagai pria nakal yang gemar mabuk-mabukan. Namun suatu malam dirinya bermimpi dan mimpi tersebut cukup aneh baginya. Mak bermimpi tentang situs suci umat Islam yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Apalagi ia seorang atheis, yang tidak mempercayai agama apapun.
"Letakkan bebannya dan hadapkan dirimu ke Ka'bah," perintah sebuah suara dalam mimpinya.
Mak mengaku bingung dengan maksud mimpi itu, apalagi dirinya sama sekali tidak tahu soal Ka'bah. Namun karena ia seorang yang percaya pada nasib, Mak menganggap hal itu sebagai sebuah pertanda. "Aku benar-benar ketakutan," katanya sambil tertawa kecil.
Kemudian Mak mencari tahu apa itu Ka'bah dan mempelajari Islam. Ia melakukan penelitian sendiri sekitar dua tahun. Selanjutnya, ia memutuskan diri dalam kursus mualaf. "Menjadi polyglot memang berguna. Beberapa bahasa saya tahu sedikit membantu ketika belajar Islam. Tetapi materi utama saya masih dalam bahasa Inggris," ucapnya.
Tak berapa lama, Mak mengumumkan mualafnya di akun Facebook miliknya. Ada beberapa orang yang tidak percaya, tapi sebagian besar tahu Mak sudah berubah. Ibunya Mak pun ikut senang dengan perubahan itu. "Kamu memiliki tujuan hidup sekarang. Kamu kini menjadi lebih baik, lebih bahagia," ujar sang ibu.
"Ayah saya yang sangat khawatir, karena saat saya memutuskan menjadi muslim bertepatan dengan puncak kekejaman ISIS. Dia sangat ketakutan kalau-kalau saya berubah menjadi teroris. Sampai hari inipun ia masih ragu. Seperti ketika saya mengatakan, saya akan ke Indonesia, misalnya, dia bertanya, "melakukan apa?"" cerita Mak.
Menjadi seorang Muslim China juga memberinya perspektif unik tentang perjuangan komunitas Muslim, salah satunya menemukan tempat makan di Singapura. "Makanan halal tidak murah, setidaknya 2 sampai 3 dolar lebih mahal. Dan ketika saya menyadari hanya bisa makan dari satu restoran di sekolah, saya menghela napas," ucapnya.
Mak tidak terlihat seperti tipikal Muslim atau Melayu di Singapura. Ia bersyukur terhindar dari perundungan yang sering dihadapi oleh rekan-rekan Muslimnya sehari-hari.
KOMENTAR ANDA