Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SANG ayah muda itu meminta sahabatnya untuk diajak turing sepeda motor. Dia ingin jalan-jalan, meski bersama keluarganya sering bertamasya dengan mobil bagus. Namun sang ayah muda tetap ngotot ingin diajak turing. Selama ini tamasya bersama keluarga hanya membuat kecewa. Dia ibarat sopir belaka. Sepanjang perjalanan istri dan anak-anak mabuk gadget masing-masing. Sekalipun diajak ngobrol, jawabannya singkat saja, dengan posisi mata terpaku di layar.

Dia bersabar dengan harapan di lokasi wisata kebersamaan yang seutuhnya dapat terwujud. Ternyata itu menjadi harapan yang terhempas. Di lokasi wisata, anak-anak dan istrinya malah makin sibuk bersama gadget. Wisata mahal itu menjadi mubazir. Malangnya, wisata hampa macam ini terjadi berulangkali, sampai-sampai ia trauma berwisata.

Sayang, teman yang diajak turing itu seorang ayah galau. Anak laki-lakinya sudah berusia empat tahun, nyaris tidak bisa bicara, senantiasa seperti ketakutan serta tidak punya rasa percaya diri. Ayah galau itu menyadari betapa dahsyatnya efek bisnis online yang membuatnya banyak waktu di rumah dan mengeruk banyak uang hanya dengan bermain ponsel.

Selain untuk bisnis online, gadget juga penuh godaan berbagai aplikasi lainnya. Gadget adalah hidup matinya. Dia sering di rumah tetapi tidak pernah hadir dalam kehidupan putranya. Ada tapi tiada. Dan ia baru tersadar tatkala anak laki-lakinya seperti mengalami gangguan psikologis atau keterlambatan perkembangan.

Sesuatu yang Merampas

Selama ini masalah gadget lebih dialamatkan kepada perempuan, padahal gadget dapat menerkam tak hanya perempuan. Siapa bilang laki-laki tidak bisa mabuk kepayang dengan godaan gadget? Gadget mampu merampas hingga bagian paling fundamental dalam hidup manusia.

Kehadiran sosok ayah dalam kehidupan anak sangatlah penting. Tuhan menciptakan tidak hanya sosok ibu, tapi dalam rumah tangga juga diciptakan sosok ayah. Dari ibu anak belajar kelembutan, dari ayah diperolehnya keberanian. Dari ibu dipetiknya pelajaran kasih sayang, dari ayah diserap rasa percaya diri. Karena itu ayah wajib hadir dalam kehidupan anaknya. Hadir lahir batin, bukan kehadiran fisik belaka.

Namun gadget laksana candu. Penggunanya bisa mencandu dalam dosis yang sulit ditakar. Karena gadget menyediakan segalanya, baik itu informasi, hiburan, bahkan kemaksiatan. Pada kisah pertama tentang anak istri sibuk gadget, dan sang ayah yang evaluasi diri terlebih dahulu, jangan-jangan dirinyalah yang membawa atau membiarkan virus itu menerjang rumah tangganya.

Sebagai kepala rumah tangga, ayah perlu memberi teladan lebih dahulu karena keteladanan lebih mengena di hati. Yang lebih menyakitkan, di kisah ayah kedua yang kehilangan anaknya dan anak kehilangan sang ayah akibat pesona gadget.

Sebetulnya gadget bukanlah musuh. Perannya ibarat pisau yang sangat berguna untuk urusan dapur, tapi bisa juga mencelakai diri tatkala dipakai menggorok leher. Pandai-pandai kita memanfaatkannya dan membatasi penggunaannya. Ada orang yang sangat anti dan menghapus gadget dalam kehidupannya. Ada yang mabuk kepayang dan nyaris menghabiskan seluruh waktu bersama gadget.

Ada yang menjadikan gadget sebagai hidup matinya. Dan ada yang membuat keseimbangan, dengan mengatur penggunaan gadget secara bijaksana. Misalnya, mengharamkan gadget di kamar tidur atau menonaktifkan gadget di hari libur atau meniadakan gadget di waktu khusus bersama anak.

Disinilah dibutuhkan keterbukaan antar anggota keluarga yang dapat saling memberi masukan perihal peran gadget. Seorang ayah tidak perlu tersinggung apabila anak-anak mengeluh perhatian orangtuanya berkurang akibat tersedot sihir gadget.

Pada masanya, Rasulullah dan umatnya memang belum berhadapan dengan gadget. Namun kita dapat mengambil pelajaran dari kearifan Nabi Muhammad dalam mendahulukan kepentingan keluarganya, terutama anak-anaknya. Kita bisa memetik hikmah dari sikap istiqamah beliau dalam menahan diri terhadap godaan duniawi.

Makna Kehadiran

Tentu bukan gadget saja yang menggerus kehadiran seorang ayah dalam kehidupan anaknya. Apa saja dapat menyingkirkan kehadiran sosok ayah, entah itu pekerjaan, hobi, dan lain sebagainya. Selain itu, kehadiran fisik bukanlah jaminan, sekalipun ayah duduk di sebelah anaknya belum tentu disebut sebuah kehadiran. Boleh jadi anak tetap merasa ayahnya tidak ada, karena sekalipun terus berada di rumah ternyata ayahnya asyik dengan pekerjaan, hobi, atau medsos hingga anaknya terabaikan.

Sebaknya kita simak episode indah antara Rasulullah dengan putrinya yang terangkum dalam hadis. Aisyah ra. berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah saw. dalam hal cara bicara daripada Fatimah.

Dahulu, ketika Fatimah menemui Rasulullah saw. maka beliau langsung berdiri dan menyambutnya, menciumnya dan mendudukkannya di tempat duduk beliau. Begitu juga ketika Rasulullah saw. mendatangi Fatimah, ia langsung berdiri menyambut beliau dan memegang tangan beliau lalu ia mendudukkan di tempat duduknya. Ketika Rasulullah saw. sedang sakit, Fatimah mendatangi beliau, lalu beliau menyambut dan menciumnya. (HR. Bukhari)

Abu Hurairah meriwayatkan dan berkata, “Al-Aqra’ bin Habis pernah melihat Rasulullah saw. mencium Hasan, lalu ia berkata, “Aku memiliki sepuluh anak, namun tidak ada satu pun yang kucium.”

Mendengar hal tersebut, Rasulullah berkata, “Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”

Ibnu Abbas meriwayatkan dan berkata, “Rasulullah saw. jika baru datang dari bepergian, maka beliau mencium putrinya, Fatimah.” (HR. Thabrani)

Hadis-hadis tersebut memberi pelajaran penting tentang makna kehadiran, bahwa Rasulullah hadir di dalam hati anak-anaknya, sekaligus beliau menegaskan kahadiran psikologis adalah yang paling penting. Nabi Muhammad tentulah super sibuk dengan amanah sebagai utusan Allah dan juga kepala negara. Namun, selain selalu punya waktu bersama anaknya, Nabi Muhammad juga mengutamakan kehadiran di hati buah hatinya. Anak-anak membutuhkan pengakuan atas eksistensi dirinya.

Dengan mencium putrinya di depan publik, Rasulullah bukan saja mengalirkan energi kasih sayang namun juga memberikan penghargaan dan kemuliaan atas eksistensi diri anaknya. Efek psikologis terhadap anak tentulah amat besar, selain anak benar-benar merasakan kehadiran sosok ayah, jiwa anak juga menjadi tangguh dan berani menghadapi kehidupan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur