Para pembicara dan Ketua Dewan Pers dalam Literasi Media di Era Artificial Intelligence (AI): Membangun Masyarakat dan Jurnalisme yang Etis dan Bertanggung Jawab (9/10) di Hall Dewan Pers. (FARAH)
Para pembicara dan Ketua Dewan Pers dalam Literasi Media di Era Artificial Intelligence (AI): Membangun Masyarakat dan Jurnalisme yang Etis dan Bertanggung Jawab (9/10) di Hall Dewan Pers. (FARAH)
KOMENTAR

ARTIFICIAL Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan menjadi tantangan serius bagi Indonesia terkait penyebaran misinformasi dan disinformasi di era digital, terlebih dengan tingginya jumlah pengguna internet dan media sosial.

Fakta memperlihatkan banyak masyarakat masih kesulitan membedakan informasi yang benar dan salah, yang pada akhirnya rentan terhadap disinformasi. Tak sedikit yang menganggap benar hoaks, bahkan tanpa ragu menyebarkannya di chat group dan media sosial.

Merespons kondisi saat ini, Dewan Pers telah menerbitkan Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Karya Jurnalistik untuk memastikan pemanfaatan AI tetap sejalan dengan prinsip etik dan integritas jurnalistik.

Untuk memastikan insan pers memiliki pemahaman yang komprehensif terkait peraturan tersebut, Dewan Pers bersama PT GoTo Indonesia menggelar seminar “Literasi Media di Era Artificial Intelligence (AI): Membangun Masyarakat dan Jurnalisme yang Etis dan Bertanggung Jawab” pada Kamis, 9 Oktober 2025, bertempat di Hall Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih 32-34 Jakarta Pusat.

Dihadiri 100 jurnalis yang merupakan redaktur, produser, juga pemimpin redaksi dari 100 media tersertifikasi Dewan Pers, seminar ini tak hanya mengingatkan kembali tentang pentingnya human control dalam pemanfaatan AI dalam pembuatan karya jurnalistik tapi juga memberikan kesempatan pada peserta untuk melatih langsung kemampuan mereka mengoptimalkan AI—dalam hal ini ChatGPT.

“Di GoTo, kami memandang AI sebagai alat bantu memperkuat daya analisis, mempercepat riset, dan membuka waawsan baru, sehingga tidak menjadi ancaman. Melalui inisiatif Sahabat AI, kami mencoba mengawal bagaimana teknologi lokal berbasis AI dapat dimanfaatkan secara inklusif dan etis oleh berbagai sektor termasuk media,” ujar Ade Mulyana, Direktur Public Affairs & Communication GoTo Indonesia, menjelaskan kehadiran GoTo dalam seminar tersebut.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Prof. Komaruddin Hidayat dalam keynote speech sekaligus membuka seminar menegaskan pentingnya human approach dalam pemanfaatan AI terutama dalam karya jurnalistik.

Ia mengingatkan bahwa ‘you are what you think, you are what you see, you are what you read, and you are what you listen’, yang berarti apa yang dikonsumsi masyarakat dari dunia digital saat ini akan sangat mempengaruhi pemikiran, emosi, dan perilaku mereka.

Begitu derasnya arus informasi yang beredar di ranah digital, masyarakat pun menjadi sangat rentan tertipu misinformasi dan disinformasi akibat penyalahgunaan AI. Salah satunya, penggunaan AI untuk ‘menjual’ emosi.

Sementara seperti diketahui, masyarakat Indonesia masih didominasi oleh mereka dengan tingkat ekonomi rendah dan pendidikan tertinggal yang rentan stres, yang mana tidak melihat benar atau salah tetapi berdasarkan like atau dislike. Pendekatannya adalah emosional, bukan rasional.

Konten yang ‘menjual’ emosi jumlah follower-nya meningkat sangat cepat, sementara podcast atau YouTube channel yang menjual konten rasional atau etika, sangat lambat pertumbuhannya. Jika yang dijual adalah sensasi, monetisasi cepat.

“AI adalah mitra dan pelayan, kadang lebih smart dari kita. Jika kita meminta informasi dari AI, dalam hitungan menit semua data ada. Hanya saja, dia (AI) tidak punya kesadaran dan tidak ada etika, betapa pun dia adalah smart machine yang melayani, jangan tanya tentang etika. AI bisa menjelaskan tentang disrupsi etika, tapi dia tidak bisa melakukan action-nya secara sadar,” ujar Prof. Komaruddin Hidayat.

Karena itulah Ketua Dewan Pers mengingatkan kembali peran jurnalis untuk tetap mengendalikan dan mengontrol AI demi membangun masyarakat yang cerdas dan bernurani. “Anda semua adalah leader of society, Anda semua adalah pemimpin dan influencer bagi masyarakat,” tegasnya.

Membuka Sesi I seminar literasi media, Plt. Direktur Ekosistem Media Kementerian Komunikasi dan Digital RI Farida Dewi Maharani dalam materi “Tantangan Regulasi Media di Era Artificial Intelligence” menjelaskan bahwa Indonesia mengalami lompatan teknologi setelah pandemi COVID-19. Sayangnya, masyarakat didorong untuk memanfaatkan teknologi sementara etika terlupakan. Dan kondisinya saat ini, peraturan yang ditetapkan pemerintah tidak mampu menandingi kecepatan pertumbuhan AI.

“Literasi media dan digital menjadi PR luar biasa, apakah kita mau mengikuti publik yang suka sekali konten receh dan konten yang sudah ter-resumed, tapi di satu sisi tidak mengedukasi masyarakat. Ini menjadi PR luar biasa. Karena itu media menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat,” ungkap Farida.

Berbagai langkah telah diambil Kemkomdigi termasuk menyelenggarakan sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan dan sertifikasi media, mengingat media adalah pilar demokrasi dengan posisi strategis sehubungan dengan banjir informasi saat ini.

“Penting juga ada tanda khusus di media agar masyarakat tahu bahwa media tersebut sudah terverifikasi Dewan Pers. Ini erat kaitannya dengan literasi media bagi masyarakat, agar mereka tahu harus mencari informasi akurat ke mana, dan mereka tahu bahwa media yang sudah memiliki tanda tertentu adalah yang terverifikasi dan bisa untuk crosscheck informasi,” kata Farida.

Sementara itu, Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antar Lembaga dan Infrastruktur Dewan Pers Rosarita Niken Widiastuti menghadirkan materi “Etika Jurnalistik dalam Pemanfaatan AI”.

Ia menjelaskan bahwa AI dapat menjadi pedang bermata dua bagi wartawan. Produksi pers bisa diperbaiki dengan AI yang dimanfaatkan untuk analisis data yang cepat, produksi berita otomatis, verifikasi fakta, hingga personalisasi konten agar sesuai target segmen. Namun di sisi lain, AI juga bisa memperburuk produk pers jika mengandung hoaks atau deep fake, juga clickbait maupun plagiat.

“Tanpa kendali yang tepat, AI bisa mempercepat penyebaran berita yang salah dan menyesatkan,” tegas Rosarita Niken Widiastuti.

Terkait menjaga martabat pers, Dewan Pers menghadirkan tiga solusi yaitu: berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemanfaatan AI, peningkatan kapasitas jurnalis, serta kolaborasi pemerintah-Dewan Pers-media-masyarakat untuk mewujudkan ekosistem pers yang sehat.




Bank Mega Syariah Perkuat Mitigasi Risiko Kurs dan Dorong FBI Lewat PIDI Syariah di ISEF 2025

Sebelumnya

IN2MOTIONFEST 2025 Resmi Dibuka, BI Pertegas Kesiapan Indonesia Jadi Pusat Modest Fashion Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel C&E