Di bidang kemanusiaan, Mbak Tutut menorehkan jejak lewat Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI). Ia memimpin periode 1989–1994. Saat itu praktik calo darah merajalela, memperjualbelikan darah yang semestinya gratis.
“Tujuan donor hanya satu: menyelamatkan nyawa orang lain,” ujar Pak Harto saat membuka kongres PDDI 1989.Sebuah pesan yang dijadikan agenda nyata oleh Mbak Tutut. Ia membabat peran calo, memperkuat jaringan donor sukarela. Tegas dan keras, bahkan ketika harus menghadapi kelompok yang terbiasa mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.
Di forum internasional donor darah (FIODS), Mbak Tutut membuat sejarah lain. Ia menjadi presiden tiga periode, memperkenalkan musyawarah mufakat, menggantikan voting. “Sejak berdiri 1955, baru pada era Tutut semua delegasi menerima kepemimpinan seorang wanita muda dari negara berkembang,” tulis salah satu catatan. Ia bahkan memilih makan malam semeja dengan delegasi Portugal di tengah ketegangan soal Timor Timur, menunjukkan bahwa diplomasi bisa dilakukan bukan dengan teriakan, melainkan dengan sepotong roti dan senyum yang tulus.
Diplomasi sunyi itu juga tampak dalam cerita lain. Tahun 1995, beberapa pemuda Timtim melompati pagar Kedubes Portugal, minta suaka. Pak Harto kesal, menyebut mereka boleh pergi kalau ingin hidup di sana. Namun Mbak Tutut diam-diam mengirim selimut biru putih, baju hangat, kebutuhan dasar untuk mereka. “Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa,” pesannya pada Judith. “Nanti kamu dimarahi.” Gestur itu membuka tabir: bahwa ia tidak pernah benar-benar melihat musuh, hanya melihat manusia.
Pak Harto, tiga kali, lewat saran para menteri, meminta Mbak Tutut menjadi menteri. Tiga kali pula ia menolak. Baru pada 1997 ia tak bisa lagi mengelak. Sebelumnya ia bahkan mencarikan pengganti: Inten Soeweno, yang kelak menghentikan judi SDSB. Fakta itu membantah anggapan bahwa Tutut hanya “duduk di kursi karena anak presiden.” Justru sebaliknya, ia berulang kali menolak, memilih bekerja di jalur lain. Soeharto tahu benar, kapan dan di mana putrinya harus ditempatkan.
Semua kisah itu—SBY, Yanti, Judith, Ramos, Mahathir—bertemu dalam satu simpul: Tutut adalah potret seorang pemimpin yang memilih berada di belakang, tetapi justru karena itu cahayanya terasa lebih murni. Malam itu, di Balai Sudirman, banyak kata diucapkan, banyak apresiasi dituliskan, tetapi mungkin yang paling tepat menutup, adalah kata-katanya sendiri, puluhan tahun lalu, kepada majalah Tempo: “Saya hanya ingin menjadi manusia biasa yang melaksanakan kodrat sebagai ibu, istri, dan anggota masyarakat yang baik.”
KOMENTAR ANDA