Ilustrasi berzikir/Freepik
Ilustrasi berzikir/Freepik
KOMENTAR

BIBIR perempuan itu begitu sering mengeluarkan kalimat-kalimat mulia; astagfirullah, innalillahi, laa haula wa laa quwwata illa billah dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat thayyibah itu seperti menjadi bagian tidak terpisahkan dari napas hidupnya. Sehingga orang-orang banyak yang berdecak kagum.

Nun jauh di lubuk hatinya, perempuan itu malah sering dirundung kegundahan. Demikian sering mulutnya menyebut Tuhan dalam kalimat thayyibah, akan tetapi hanya resah dan gelisah yang menerkam hidupnya. Perempuan itu dicekam ketakutan terhadap masa depan dan dirundung kesedihan mengenang masa yang telah berlalu.

Adakah yang salah dari kebiasaan perempuan baik itu?   

Tidak ada yang salah, karena kalimat-kalimat yang mulia itu sesungguhnya bagian dari zikir atau mengingat Allah. Istigfar dibacakan di saat kita terlanjur melakukan perbuatan dosa, yang mana kita meminta ampunan sembari mengingat Allah.

Istirja atau inna lillahi wa inna ilaihi rajiun diucapkan setiap kali mendapat musibah, yang bukan hanya kematian tetapi musibah kecil pun bahkan hal-hal negatif juga diucapkan istirja. Kita berserah diri kepada Allah dengan senantiasa mengingat-Nya.

Hauqalah atau laa haula wa laa quwwata illa billah (tiada daya upaya melainkan dari Allah) dibaca tatkala mengharapkan kekuatan diri. Di saat kondisi terpuruk, maka kita memohon kekuatan dari Allah dengan selalu mengingat-Nya.

Banyak sekali kalimat thayyibah yang mengandung kebaikan dan kita berpahala setiap kali mengucapkannya. Dengan demikian bagus-bagus saja bagi siapapun yang rajin mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah dan sesungguhnya itu menjadi bagian dari zikir mengingat Allah.

Hanya saja kalimat-kalimat thayyibah baru dalam bentuk bacaan sedangkan hakikatnya zikir adalah mengingat Allah dengan kesadaran hati. Jika kita mengalami kegelisahan, kegundahan, kegalauan dalam hidup, padahal merasa sudah sering berzikir, maka ada suatu hal penting yang diperingatkan dalam Al-Qur’an.

Surat al-A'raf ayat 205, yang artinya, "Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.”

Mengingat Allah itu sangatlah penting, asalkan kita bersama Allah maka tidak akan ada lagi persoalan yang menggentarkan nyali. Kehidupan di dunia ini terasa lapang-lapang saja salama kita ingat Allah. Bukan sekadar bacaan di bibir, jika ingin mendapatkan saripatinya, hendaklah kita menyebut Allah dalam hati.

Sebutlah Tuhanmu dalam jiwamu! Itulah yang diserukan oleh ayat di atas.

Kalau hanya bibir saja yang menyebut Allah tetapi hati tidak mengingat Tuhan, maka jangan heran apabila kegundahan dan kegelisahan masih merajam kita. Ketika seorang hamba mendambakan ketenangan, ingat Allah itu perlu menyertakan kesadaran hati.

Bagaimanakah caranya?

Dengan mendeteksi getarannya.

Banyak-banyaklah membaca kalimat thayyibah, sering-seringlah berzikir lalu rasakan adanya getaran di dalam hati, yang mana jiwa kita memang dalam kondisi ingat Allah semata. Tatkala lisan beristigfar memohon ampunan, di saat bersamaan hati kita benar-benar terasa bergetar karena ingat Allah.

Dari itulah, kita perlu meningkatkan level dengan mengingat Tuhan hingga bergetar di hati, dan akan lebih dahsyat jika getaran di hati itu berlanjut dengan bergetarnya kulit atau tubuh. Sehingga istigfar kita benar-benar dalam ketundukan dan kepasrahan kepada Allah semata.

Abdur Razzaq Ash-Shadr dalam buku Berzikir Cara Nabi (2007: 16) menerangkan:

Zikir merupakan kehidupan hati yang hakiki. Zikir adalah makanan hati dan jiwa. Jika zikir telah hilang dari din seorang hamba, dia bagaikan tubuh yang tidak mendapatkan makanan. Tidak ada kehidupan yang hakiki dalam hati kecuali dengan zikir kepada Allah.

Karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Zikir bagi hati bagaikan air bagi ikan. Bagaimanakah keadaan ikan jika dia keluar dari air?”

Analogi yang diberikan oleh Ibnu Taimiyah sangatlah relevan. Dia menyamakan zikir dengan air bagi ikan. Sebagaimana air sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup ikan, demikian pula zikir sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup spiritual manusia.

Jika seseorang kehilangan zikir dari hidupnya, maka seperti ikan yang keluar dari air. Dia akan merasakan kekeringan dan kekosongan dalam jiwanya.

Zikir merupakan kehidupan hati yang hakiki. Zikir adalah makanan hati dan jiwa. Jika zikir telah hilang dari din seorang hamba, dia bagaikan tubuh yang tidak mendapatkan makanan. Tidak ada kehidupan yang hakiki dalam hati kecuali dengan zikir kepada Allah.

Hakikat zikir adalah mengingat Allah. Apabila hati mampu senantiasa mengingat Alalh dalam getarannya yang indah, maka kita telah mencapai hakikatnya. Dan di sanalah ketenangan hati akan kita rasakan.

Sebenarnya tidak perlu bertapa di gua-gua, tidak perlu semedi di tempat terpencil, tidak perlu mengasingkan diri di lokasi terjauh, karena jalan-jalan ketenangan itu sudah dibentangkan oleh agama dan caranya pun teramat mudah.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur