Ilustrasi ibu menggandeng anak/Freepik
Ilustrasi ibu menggandeng anak/Freepik
KOMENTAR

MUNGKIN penyebabnya ustaz itu terlalu muda belia sehingga kurang lihai bermain cantik. Dia bersikukuh mengatakan anak perempuan itu statusnya hanyalah anak angkat, yang tidak akan pernah sama dengan anak kandung.

Sedangkan sang ayah angkat adalah jagoan dan ibu angkatnya bermulut tajam. Pasutri itu mengintimidasi masyarakat supaya mengakui putri adopsinya adalah anak kandung. Akibat si ustaz muda yang tak mau mengubah pendirian, dirinya pun menjadi sasaran perlakuan kekerasan hingga menjadi bulan-bulanan.

Memangnya tidak boleh melimpahkan kasih sayang terhadap anak angkat hingga mengangkat derajatnya seperti anak kandung?

Nabi Muhammad pernah punya anak asuh, yang bernama Zaid. Saking sayangnya kepada si anak, sampai-sampai disebutlah Zaid bin Muhammad. Tak tanggung-tanggung malah dikatakan Zaid itu putranya Nabi Muhammad. Demikianlah besarnya ungkapan rasa kasih dan sayang!

Akan tetapi, kemudian malah datang teguran Allah, bahwa sebesar apapun cinta kasih, tetap saja Zaid bukanlah anak kandung Rasulullah. Statusnya hanyalah anak asuh atau anak angkat atau istilah kerennya anak adopsi.

Surat Al-Ahzab ayat 5, yang artinya, “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abdul Karim Al-Khathib dalam bukunya Muhammad Saw.: Manusia Paling Sempurna, Nabinya Para Nabi (2021: 276) menguraikan:

Pada saat itu, anak angkat dinasabkan kepada selain ayah kandungnya, siapa pun yang ingin dinasabkan, lalu dia mendapatkan hukum anak asli dari orang yang mengangkatnya. Pada saat itu, Zaid bin Haritsah adalah anak angkat Nabi dan dipanggil sebagai Zaid bin Muhammad. Lalu Allah membatalkan kebiasaan tersebut melalui syariat langit.

Pada zaman jahiliyah, praktik adopsi anak dengan mengubah nasab menjadi umum terjadi. Anak angkat secara hukum dianggap seperti anak kandung dan memiliki hak-hak yang sama.

Hal ini juga terjadi pada Zaid bin Haritsah, yang diangkat sebagai anak oleh Rasulullah saw. dan oleh karena itu dinamakan Zaid bin Muhammad. Namun, Allah Swt. kemudian membatalkan praktik ini melalui wahyu-Nya, menegaskan pentingnya menjaga kebenaran nasab.

Dengan pernahnya Rasulullah memiliki anak asuh atau anak angkat, maka dengan mudah ditebak bahwasanya adopsi anak diperbolehkan dalam fikih Islam. Bahkan sesungguhnya banyak sekali misi mulia yang dapat diwujudkan melalui langkah adopsi ini.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) jauh-jauh hari telah membuat rincian tentang adopsi anak. Mardani dalam buku Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (2017: 229) menerangkan:

Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 memfatwakan tentang adopsi sebagai berikut:

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam.

3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan oleh agama Islam.

Poin pertama yang ditekankan dalam fatwa tersebut adalah pengakuan Islam terhadap keturunan yang sah, yang hanya dapat terbentuk melalui ikatan pernikahan yang sah. Ini menunjukkan pentingnya institusi pernikahan dalam Islam sebagai pondasi utama bagi pembentukan keluarga dan keturunan yang sah di mata syariat.

Poin kedua mengenai larangan mengangkat (adopsi) dengan cara yang memutuskan hubungan keturunan (nasab) sang anak dengan orang tua kandungnya. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam yang menegaskan pentingnya menjaga kebenaran nasab dan menghindari kebingungan dalam hal warisan dan hak-hak keluarga.

Namun, fatwa juga mengakui kebutuhan sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anak yang terlantar atau tanpa orang tua dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, fatwa memberikan ruang bagi pengangkatan anak tanpa mengubah status nasab dan agamanya.

Ini mencerminkan sikap ramah agama Islam yang memperhatikan kesejahteraan anak-anak yang membutuhkan perlindungan dan kasih sayang tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum Islam.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih