Ilustrasi indahnya beriman dalam Islam/Cahaya Islam
Ilustrasi indahnya beriman dalam Islam/Cahaya Islam
KOMENTAR

RASA cinta menciptakan keindahan. Mereka yang jatuh cinta seperti hidup bagaikan bernuansa surgawi. Yang paling menakjubkan, kita sebagai hamba memperoleh anugerah rasa luar biasa dalam rupa jatuh cinta kepada keimanan.

Allah menjadikan keimanan itu berlanjut menjadi keindahan di dalam hati. Surat Hujurat ayat 7, yang artinya: “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”.

M Darwis Hude dalam buku Emosi: Penjelajahan Religio Psikologis (2006: 115) menulis, dapat dipahami dari ayat-ayat di atas bahwa sikap santun, kasih sayang, cinta pada keimanan, perasaan indah dan bahagia adalah orang yang memiliki iman, tidak menyukai kekufuran dan kefasikan adalah terpatri di dalam qalb-nya. Bukan suatu kebetulan jika iman sebagai salah satu bentuk spiritulitas mengambil tempat di dalam qalb.

Apabila kita ingin mengukur kedalaman iman masing-masing, dan menginginkan keimanan yang terbaik, maka perlu dimiliki cinta kepada keimanan dan keimanan itu terasa indah di dalam hati.

Yang tak boleh diabaikan, kedua anugerah tersebut terjadi dalam bingkai “Allah yang menjadikan”. Sehingga, cinta kepada iman dan keindahan yang terasa dari keimanan merupakan anugerah yang patut disyukuri.

Cinta itu berlaku bagi orang-orang yang lurus. Kemudian iman memberikan spektrum warna terindah pada setiap langkah hingga mampu meresapi kehidupan dengan penuh cita rasa nan agung. Iman bukanlah sekadar kepercayaan, melainkan suatu hubungan batin yang memancarkan rasa cinta kepada keimanan itu sendiri.

Keimanan yang indah menciptakan perasaan bahagia. Ketika hati dipenuhi dengan keimanan, maka kehidupan menjadi lebih berarti. Iman membawa kita kepada pemahaman tentang makna sejati keberadaan dan tujuan hidup. Dengan memiliki iman, setiap detik kehidupan diisi dengan kebahagiaan yang tak tergantikan oleh kesementaraan dunia.

Surat Hujurat ayat 7 ini juga mengajarkan bahwa orang yang memiliki iman tidak dapat menyukai kekufuran dan kefasikan. Iman membawa kita kepada pemahaman yang mendalam tentang kebaikan dan keburukan. Pemahaman ini membentuk dasar moral yang kuat, yang menghasilkan ketidaksukaan terhadap perilaku menyimpang dari ajaran keimanan.

Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iry dalam buku Amalan-Amalan Pemelihara Iman (2006: 297-298) menjelaskan, Allah yang membuat kalian lebih mencintai keimanan dan membenci kekafiran, kefasikan dan kedurjanaan, menjadikan kalian orang-orang yang bijak, menyadarkan kalian terhadap bahaya bisikan-bisikan jahat dan batil dari setan yang hanya akan menyusahkan kalian dan Rasulullah.

“Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”, yaitu yang mencintai keimanan dan membenci kekafiran, kefasikan dan kedurjanaan. Mereka yang senantiasa teguh berada di jalan kebenaran itu adalah para sahabat Rasulullah. Setiap mereka yang mendapatkan petunjuk Allah untuk mencintai keimanan dan membenci kekafiran, kefasikan dan kedurjanaan, mereka yang memiliki kebersihan jiwa, kemulian dan kehormatan semasa di dunia. Sungguh, mereka inilah orang-orang yang akan meraih surga dan keridaan Allah di akhirat kelak.

Ketidaksetujuan terhadap kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan tidak berasal dari kebencian, melainkan dari cinta pada keimanan. Iman menjadikan hati peka terhadap nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama dan hal ini memberikan kekuatan untuk menolak segala bentuk kejahatan yang menghancurkan.

Manusia-manusia biasa seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan para sahabat Nabi lainnya mampu merasakan keindahan di dalam keimanan. Ini artinya, keindahan itu juga dapat kita rasakan, sehingga saripati keimanan juga anugerah berhak kita nikmati.

Jika kita mampu membenci untuk melakukan kekafiran dan kejahatan, maka di sanalah keindahan iman itu telah terasa. Artinya kita telah meraih cinta di atas cinta.

Iman, sebagai bentuk spiritualitas, bukanlah sesuatu yang terpaku pada ritual keagamaan semata, melainkan sebuah realitas yang hidup dalam qalb (hati). Iman yang terpatri di dalam qalb membawa keindahan, cinta, dan kasih sayang yang mengalir sebagai hasil dari hubungan batin dengan Sang Pencipta.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur