Kemerdekaan Indonesia sebaiknya diisi dengan semangat terus maju/Net
Kemerdekaan Indonesia sebaiknya diisi dengan semangat terus maju/Net
KOMENTAR

FATHUL MAKKAH bukan hanya mengubah takdir kota suci terlepas dari belenggu jahiliyah, tetapi juga membawa pesan yang relevan tentang kemerdekaan. Salah satu aspek yang menonjol dari Fathul Makkah adalah perubahan paradigma dari yaumul malhamah (hari pembalasan) menjadi yaumul marhamah (hari kasih sayang), sebuah konsep yang berhubungan dengan refleksi mendalam terhadap makna kemerdekaan Indonesia.

Pada 630 Masehi, Nabi Muhammad Saw memasuki Makkah secara mendadak dengan pasukan yang sangat banyak, sangat kuat, dan sangat percaya diri. Kaum Quraisy yang begitu lama menindas, tidak berkutik melakukan perlawanan. 

Nasaruddin Umar pada bukunya Islam Nusantara (2019: 224) menerangkan, kaum kafir Quraisy Makkah sangat ketakutan. Mereka menunggu dan menyangka akan dieksekusi sebagaimana layaknya tradisi perang kabilah, yang kalah laki-lakinya dibunuh dan perempuannya dijadikan budak bersama anak-anaknya. 

Alangkah kagetnya mereka setelah Nabi meneriakkan, “Siapa yang masuk ke dalam pekarangan Ka'bah aman, masuk ke rumah Abu Sufyan aman, dan masuk ke dalam rumah dan menguncinya juga aman.”

Akhirnya Abu Sufyan bersama pembesar Quraisy menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi. 

Selanjutnya Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, “Al-yaum yaumul-marhamah (Hari ini hari kasih sayang). 

Seandainya Nabi Muhammad memerintahkan pembantaian massal di Makkah sebagai pembalasan atas kekejaman Quraisy di masa lalu, maka sesungguhnya yang demikian itu memang lazim terjadi. Akan tetapi, Rasulullah menyalahi kebiasaan perang itu dan malah memberikan kemerdekaan bagi semua orang, merdeka yang hakiki.

Alih-alih menjadikan Makkah sebagai ladang pembantaian, Nabi Muhammad justru menganugerahkan amnesti massal dan menjadikan hari itu sebagai proklamasi kemerdekaan bagi semua. Di hadapan musyrikin Qurasiy yang menyiksa secara kejam selama puluhan tahun, Rasulullah mengumumkan yaumul marhamah atau hari kasih sayang.

Emha Ainun Nadjib dalam bukunya Jejak Tinju Pak Kiai (2008: 206) mengungkap, makna hari kasih sayang Islam versi Rasulullah Muhammad Saw, yang diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai Fathan Mubina (kemenangan yang nyata), terjadi pada bulan Ramadan, tepatnya pada 10 Ramadan tahun ke 8 Hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal. 

Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang, “Hadza laisa yaumul malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa. (Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian bebas.)”

Sebagai tanda besar kemuliaan hati dan pengampunan massal, Nabi Muhammad tidak memilih untuk mengumumkan yaumul malhamah, yang mungkin diharapkan oleh sebagian pengikutnya untuk melakukan pembalasan terhadap kekejaman Quraisy. Sebaliknya, beliau mengumumkan yaumul marhamah, hari kasih sayang yang menghadirkan kemerdekaan bagi seluruh penduduk Mekah, termasuk kepada mereka yang pernah menzalimi umat Islam.

Nasaruddin Umar (2019: 225) menjelaskan, penyelesaian Fathul Makkah sangat manusiawi, menyalahi tradisi perang Arab. Hari itu betul-betul tidak ada balas dendam. Revolusi tanpa setetes darah. Revolusi tanpa balas dendam, revolusi dengan biaya murah dan revolusi yang melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental. 

ltulah revolusi Nabi. Dunia tercengang menyaksikan kearifan seorang Nabi Muhammad. Rekonsiliasi ini patut dicontoh. Inilah revolusi tanpa setetes darah.

Konsep yaumul marhamah ini memiliki relevansi yang indah jika dihubungkan dengan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan, melalui proklamasi yang diilhami oleh semangat perjuangan dan tekad untuk hidup dalam kedaulatan. Indonesia tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan fisik, tetapi juga kemerdekaan hakiki sebagai manusia.

Seperti Nabi Muhammad yang memilih kasih sayang dan pengampunan, pemimpin-pemimpin Indonesia saat itu memahami pentingnya mengakhiri penjajahan dengan perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun ada luka-luka batin dari masa lalu, semangat yaumul marhamah hadir dalam semangat untuk membangun bangsa yang bersatu, berlandaskan toleransi, dan menghargai keragaman sesama anak bangsa.

Nasaruddin Umar (2019: 225) mengungkapkan, para pendiri bangsa (The Founding Fathers) yang merintis NKRI, sepertinya lahir mendahului zamannya. Sulit dibayangkan, pemikiran sedemikian bijak lahir di masa itu. Padahal, mereka menjadi korban langsung dari ganasnya penjajahan. 

Mereka seperti tidak punya dendam sama sekali, mereka juga begitu lapang dada menerima perbedaan, lalu diramu menjadi sebuah prinsip yang lebih populer dengan Bhinneka Tunggal Ika.

Kemerdekaan Indonesia juga berfungsi sebagai inspirasi bagi bangsa-bangsa lain di dunia yang masih berjuang untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia. Seperti kasih sayang yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada penduduk Makkah, Indonesia berbagi nilai-nilai universal seperti perdamaian, pengampunan, dan penghormatan terhadap hak-hak individu.

Namun, seperti dalam perjalanan pasca-Fathul Makkah, perjuangan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak selalu mulus. Bangsa ini mengalami ujian dan tantangan yang menguji tekad dan kesatuan. Bahkan ada beberapa bentrokan, pemberontakan dan peperangan sesama anak bangsa.

Namun, semangat yaumul marhamah tetap menjadi landasan untuk mengatasi perbedaan dan kesulitan, dan kemudian membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Pada hari ini, saat kita merayakan kemerdekaan Indonesia, mari kita ingat dan pelajari pesan berharga dari Fathul Makkah. Kita dapat merenungkan bagaimana yaumul marhamah dapat menginspirasi upaya kita untuk mencapai perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap hak-hak manusia. 

Ingatlah, kemerdekaan Indonesia ini untuk semua lapisan bangsa, bukan golongan atau pihak tertentu saja. Momentum perayaan HUT Ke-78 RI ini hendaknya menyadarkan kita untuk menjadikannya sebagai yaumul marhamah, mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang berkasih sayang.




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur