Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

BERPUASA pada hakikatnya tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, juga emosi. Tetapi, ada banyak hal terkait ibadah di bulan Ramadan ini, yang tidak bisa diabaikan.

Seperti imsak. Pada hakikatnya imsak adalah menahan atau mengendalikan diri dalam berbagai aspek. Islam juga mengajarkan imsal sosial, agar saripati puasa dirasakan manfaatnya.

Pada suatu hari, Rasulullah mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budaknya), padahal wanitaia sedang menunaikan ibadah Ramadan. Nabi Muhammad yang mendengar itu segera mengambil makanan dan menyodorkannya seraya berkata, “Makanlah!”

Perempuan itu menolak, “Saya sedang berpuasa, ya Rasulullah.”

Nabi balik menolak, “Bagaimana mungkin engkau mengaku berpuasa, sementara telah engkau maki-maki budakmu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah juga telah menjadikan puasa sebagai penghalang dari perbuatan tercela maupun perkataan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya orang yang berpuasa, alangkah banyaknya orang yang menahan lapar saja.” (Disarikan dari buka Islam Aktual, karya Jalaludin Rakhmat)

Kisah di atas menjadi evaluasi dari ibadah kita selama ini. Hitung sendiri, berapa banyak yang berakhir tanpa nilai. Pokok utama ibadah puasa adalah imsak, yang artinya menahan atau mengendalikan. Tidak hanya makan dan minum, Rasul juga mengingatkan umatnya agar tidak lupa mengendalikan diri dalam relasi sosial. Di sana banyak tuber jurang yang siap menerkam pahala puasa kita.

Buruknya kemampuan imsak sosial bermuara pada bencana sosial, misalnya kecenderungan mudah marah yang membuat orang mudah lepas kendali dan berbuat anarkistis, yang menorah luka hati atau menebar prasangka buruk yang mengancam persahabatan, atau bergunjing yang menghitamkan kemanusiaan seseorang, atau memfitnah yang menikam saudara dari belakang, atau adu domba yang memercikkan api konflik, dan sebagainya.

Sebagian saudara muslim menjadikan bibit bencana sosial sebagai kesenangan sesaat. Entang, mengapa mereka bisa menikmatinya, bahkan menjadikannya rutinitas semanis hobi. Ada saja yang kurang jika dirinya belum menyakiti lingkungan sosial.

Puasa seringkali pula dijadikan pembenaran atas ledakan emosi. “Salah dia memancing orang puasa. Kayak tak tahu saja orang lapar!” atau “Jangan coba-coba pancing emosi. Ingat, aku sedang lapar, nih!”

Itu baru contoh pertama.

Selanjutnya, seringkali pula kita melihat, menjelang beberapa menit berbuka puasa, ibu-ibu masih sempat berkumpul meraup dosa dari mengorek air saudara seagama. Begini alasannya, “Akh, sekadar iseng biar lapar tidak terasa”.

Filosofi lapar

Kenapa Ramadan harus hadir dengan kewajiban berpuasa dengan membatasi kehendak perut? Karena, lazimnya berpangkal dari perutlah bencana sosial meledak. Sebuah jargon premanisme cukup popular, “Lebih baik berkelahi dengan manusia daripada berkelahi dengan perut”.

Kemudian, betapa sering orang mencuri demi mendamaikan lapar? Gara-gara perut keroncongan, manusia mengizinkan dirinya mencabut hak hidup orang lain.

Mereka yang gagal berdamai dengan lapar pun mencuri, membunuh, atau menjual diri. Asal tahu saja, ada dosa sosial yang dipanggul. Dosa masyarakat yang turut memosisikan orang-orang tersebut harus memilih yang terpahit. Sementara itu, empati sosial dari lingkungannya tidak terbangun.

Logikanya, Ramadan menjungkirbalikkan segala pandangan dangkal. Dengan berpuasa, lapar bisa menjadi modal melahirkan nilai-nilai yang luhur. Hikmahnya justru mengantarkan manusia untuk menebar banyak amalan, mendahulukan akal budi daripada hawa nafsu. Lapar tidak pantas menginjak-injak harkat kemanusiaan.

Puasa mengantarkan kita pada sikap mendasar tentang imsak sosial, bahwa lapar bukan urusan perut kosong belaka. Lapar itu ada di mata yang ingin meraup segala kesenangan yang tampak, pada tangan yang berhasrat merengkuh segala kemewahan, juga berwujud nafsu ingin tampil bermegah-megah yang bermuara menghadirkan keserakahan.

Allah berfirman: “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Qs Ali Imran: 133-134)

Siapapun yang berhasil melakukan kebajikan imsak sosial, mereka berhasil meraih ketakwaan. Inilah yang menjadi puncak dari puasa Ramadan, Allah memberi garansi surga bagi mereka yang bertakwa.

Puncak puasa tidak akan tercapai tanpa kemampuan berimsak sosial. Setiap muslim tidak diizinkan sibuk dengan urusan pribadi belaka. Banyak yang perlu kita kendalikan demi suksesnya Ramadan. Sekali lagi, jangan lupa imsak sosialnya!




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur