Ilustrasi anak berpamitan untuk berangkat ke sekolah/Net
Ilustrasi anak berpamitan untuk berangkat ke sekolah/Net
KOMENTAR

MASUK sekolah pukul 5 pagi sudah berlaku di sejumlah SMA unggulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kebijakan ini menimbulkan pro kontra, tidak hanya dari orang tua siswa tetapi juga para warganet. Mereka khawatir keselamatan para siswa yang harus berangkat sekolah dalam suasana gelap gulita.

Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat mengaku berniat baik atas kebijakan barunya. Ia hanya ingin melatih kedisiplinan dan meningkatkan mutu pendidikan. Dan Viktor menegaskan, tidak akan mengubah keputusannya.

Memang, sesuatu yang baru tentu saja menuai pro dan kontra. Sebetulnya, kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai pukul 5 pagi bukan hal baru, apalagi di pesantren-pesantren, itu sudah lumrah. Kegiatan KBM tetap berjalan teratur dan tertib. 

Seorang kepala sekolah di sebuah pesantren, misalnya, langsung menerapkan masuk sekolah pukul 5 pagi. Selesai shalat Subuh, para santri berpakaian rapi dan tertib belajar di kelas, menimba ilmu-ilmu sesuai kurikulum yang berlaku.

Tidak ada pelajar yang mengeluh, tidak ada orang tua yang protes. Malahan masyarakat berdecak kagum, kok bisa mendisplinkan murid-murid di usia pubertas.

Pihak pesantren berkeyakinan, Subuh adalah waktu yang tepat untuk mulai belajar, karena otak sedang segar dan pikiran masih kuat menampung berbagai ilmu. Itulah mengapa mata pelajaran yang dipilih cukup menguras otak, misalnya matematika.

Gatut Prasetiyo & Sofie dalam bukunya Life in Balance (2016: 48) menjelaskan, menurut penelitian Dr Alexander Bruce dari Jerman, saat Subuh manusia mampu menghirup napas yang panjang. Kecepatan aliran darah menuju otak juga akan bertambah, sehingga otak memperoleh darah yang kaya oksigen dalam jangka waktu yang lebih cepat. Hasilnya, otak lebih cepat bekerja atau merespons jika diajak untuk berpikir.

Buktinya terasa kemudian, para alumni pesantren itu mampu menembus perguruan tinggi ternama, baik di dalam dan luar negeri. Puluhan tahun kemudian alumni itu menduduki jabatan bergengsi di berbagai posisi strategis.

Hanya saja, pesantren menghentikan proses belajar mengajar sekitar pukul 7.30 pagi. Para siswa diberi waktu yang sangat lapang untuk makan pagi atau sekadar istirahat dan berkegiatan lainnya.

Itulah, mengapa tak perlu terkejut ketika Gubernur Viktor menerapkannya. Hanya saja, ada beberapa alasan yang mendukung protes mereka.

SMA di NTT bukanlah boarding school. Betapa sulitnya siswa mencari angkutan umum pukul 4 dini hari. Kalaupun ada, tetap saja orang tua cemas karena anak remajanya dilepas pergi saat langit masih gulita.

Beda dengan Jakarta yang 24 jam selalu ramai, NTT tidak memberikan suasana sepadat itu. Alih-alih fokus belajar, psikologis anak-anak didik justru sudah lebih dulu ‘tertekan’.

Jika ingin membandingkan, ada kisah bertahun-tahun yang lalu, di Sumatera. Saat itu, sebuah SMA unggulannya menjalankan program belajar pukul 5 Subuh, khusus bagi kelas akhir yang akan tamat. Orang tua sangat mendukung, sebab ini bentuk persiapan optimal demi meraih masa depan cemerlang.

Apalagi pihak sekolah menyediakan penginapan untuk semua siswanya, tentunya di dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Dan akhirnya, program sekolah berjalan lancar tanpa banyak protes.

Jadi, ada baiknya memiliki pola pikir yang tepat agar segala keputusan tidak merenggut keindahan masa muda anak-anak. Mereka bukan mesin yang dipadu dari besi dan baja. Bahkan, mesin pun bisa meletus jika diporsir secara berlebihan.

Eloknya, lakukan dengar pendapat bersama siswa, orang tua, dan guru, karena mereka yang menjalaninya dengan berbagai risiko yang mengintai. Dan lebih bagus lagi jika sebelum program ini dijalankan, pembuat kebijakan beserta seluruh kepala intansi dan pegawai pemerintah setempat melakukan uji coba.

Ya, cobalah masuk kantor dan apel pagi setiap hari, pukul 5 pagi, sehingga dapat meresapi nuansa Subuh secara mendalam hingga ke pori-pori. 

Meningkatkan mutu pendidikan memanglah proyek yang bagus, tetapi kalau hanya sekali bagusnya lalu kemudian menimbulkan kemudaratan, maka jelas ini akan membahayakan dunia pendidikan itu sendiri.

Kemajuan pendidikan tidak mungkin bergantung kepada otak satu orang kepala daerah. Pendidikan itu tanggung jawab kita bersama. Oleh sebab itu, ada baiknya masuk sekolah pukul 5 Subuh ini kembali dimusyawarahkan, dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Karena niat baik juga membutuhkan proses yang baik juga.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur