Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MEMANG sih talak bukanlah perkara yang disukai Tuhan, tetapi tetap saja agama Islam membuat tatanan dan aturan yang apik. Tujuannya ditata sedemikian rupa agar hak-hak perempuan dan anak pada khususnya tidak dirugikan. Dan pada level yang lebih luas, talak jangan sampai merusak tatanan masyarakat muslim.

Terlebih di masa jahiliah, perceraian itu berlangsung seenaknya saja yang membuat wanita dan anak berguguran menjadi korban. Demi memberikan perlindungan maksimal, maka fikih Islam pun mengatur jenis-jenis talak yang terlarang.

Wahbah az-Zuhaili pada buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 9 (2007: 355-356) menerangkan:

Dalam satu riwayat dari Ibnu Umar, sesungguhnya dia menceraikan istrinya ketika tengah berada pada masa haid. Umar melaporkan hal tersebut kepada Nabi saw. Beliau merasa marah pada perbuatannya tersebut. Beliau kemudian berkata,

“Hendaknya dia merujuknya, kemudian dia tahan istrinya tersebut sampai dia suci, kemudian dia haid dan suci lagi. Jika dia ingin menceraikannya maka hendaknya dia ceraikan sebelum dia setubuhi istrinya tersebut. Itulah iddah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah.”

Ibnu Abbas berkata, sedangkan kedua jenis talak yang haram adalah, jika dia talak istrinya dalam keadaan haid, atau dia talak istrinya setelah melakukan persetubuhan, dan dia tidak mengetahui apakah rahim istrinya berisikan janin ataukah tidak.

Cukup ringkas Ibnu Abbas menyebutkan jenis talak yang terlarang, dan berkaitan dengan penjelasan hikmahnya, diterangkan dengan menarik oleh M. Quraish Shihab pada bukunya berjudul Perempuan (2018: 305), yakni:

Apabila seorang suami bermaksud menceraikan istrinya, dia terlebih dahulu harus mengetahui apakah istrinya sedang mengalami menstruasi atau tidak. Talak dalam keadaan istri haid tidaklah dinilai talak yang benar lagi terlarang. Karena boleh jadi penyebab kesalahan yang dijatuhkan pada istri adalah akibat gangguan emosi yang diakibatkan oleh haid.

Talak dalam keadaan istri suci tetapi telah digauli pun dinilai bukan talak yang benar karena boleh jadi ketika itu suami memiliki perasaan jenuh -setelah hubungan seksual- sehingga perasaan itu mengantarnya menceraikan istrinya.

Di samping itu, boleh jadi istri yang digauli tadi mengandung sehingga suami akan menyesal meninggalkan ibu calon anak atau boleh jadi larangan tersebut karena talak saat istri sedang hamil dapat memperpanjang masa iddah, dan ini merugikan perempuan.

Begitulah Islam telah melarang jenis-jenis talak yang rentan merugikan. Tentunya agama tidak asal melarang, karena talak yang demikian itu jelas akan menimbulkan banyak kemudaratan.

Berbeda dengan kondisi awal pernikahan yang biasanya berlimpah cinta kasih, maka suasana perceraian malah sebaliknya, disesaki kemarahan atau bahkan kebencian. Jelaslah, pada kondisi yang tidak mengenakkan begini agama perlu hadir agar kemaslahatan tetap terjaga.

Suami tidak bisa seenaknya menjatuhkan talak, tidak boleh begitu gampang perceraian terjadi, sebab Islam menjaga hak-hak kemanusiaan yang terdampak dari perpisahan pasangan suami istri.    

Di masa jahiliah, talak dapat dijatuhkan dengan semena-mena, perceraian terjadi dengan seenaknya saja. Dapat ditebak, wanita dan anak yang menjadi korban, yang membuat kehidupan mereka jadinya merana. Tatanan kehidupan bermasyarakat pun jadinya berantakan, garis keturunan yang kacau balau, konflik yang meledak, juga beban sosial masyarakat yang bertambah.

Mahdi Rizqullah Ahmad dalam buku Biografi Rasulullah Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017: 85) mengungkapkan:

Pada masa jahiliah, penjatuhan talak juga tidak memiliki batas tertentu. Seorang lelaki bisa sesuka hati menjatuhkan talak kepada istrinya, kemudian rujuk kembali sampai berkali-kali. Islam kemudian membatasinya sampai dua kali saja.

Islam hadir menata kehidupan rumah tangga secara detail hingga urusan talak, tidak terlepas dari misi mulianya, yakni rahmatan lil alamin.  

Kalau memang perceraian itu dibutuhkan, maka hendaknya talak itu dijatuhkan betul-betul ketika semua pihak dalam kondisi yang stabil, sehingga mampu membuat keputusan dengan suatu kesadaran mendalam. Perceraian tidak boleh dilakukan dalam ketergesaan, melainkan didahului perenungan mendalam. Dengan demikian, jauhilah jenis-jenis talak yang terlarang itu.
    

 




Betapa Berat Kafarat Jima’ Saat Berpuasa

Sebelumnya

Sahur Itu Sunnah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih