Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

JUSTRU ketika niatnya telah bulat hendak menunaikan rukun Islam yang kelima, perempuan itu malah dilanda kebingungan. Biaya tidak masalah, waktu pun telah dilapangkan, apa lagi yang kurang?

Kegundahan itu muncul tatkala ada yang mengemukakan bahwa muslimah berangkat haji haruslah didampingi mahram. Tidak tanggung-tanggung, orang itu pun menyodorkan sebuah hadis nabi sebagai landasan pendapatnya.

Syarat tersebut membuat perempuan itu terkendala, sebab tidak ada mahram yang dapat mendampinginya berhaji. Terlebih suami tercinta sudah terlebih dahulu menghadap Allah. Apa mau dikata?

Dirinya pun terheran-heran, buat apa pula harus didampingi mahram segala kalau cuma pergi ke Mekah? Sebagai perempuan yang menapaki karir internasional, sudah terlalu biasa bagi dirinya menempuh perjalanan jauh ke berbagai penjuru dunia. Dan sejauh itu pula dirinya toh aman-aman saja!

Syukurnya, perempuan itu masih mematri prasangka baik di hatinya. Dia yakin Islam bukan agama yang kaku. Perempuan itu percaya masih ada solusi bernas dari dirinya yang terkendala mahram dalam berhaji.

Sebetulnya, terdapat perbedaan ulama yang menarik terkait wajib tidaknya mahram bagi muslimah yang hendak berangkat haji. Uniknya, selain sama-sama berlandaskan dalil yang kuat, kedua pendapat yang berseberangan itu juga sama-sama memiliki itikad baik.

Muh. Hambali dalam bukunya Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari dari Kandungan hingga Kematian (2020: 356) memaparkan:

Masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang: Pertama, wanita yang pergi haji harus bersama mahram atau suaminya. Karena itu, menurut Abu Hanifah, seorang wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji.

Kedua, wanita tersebut tidak harus bersama mahram. Artinya, mahram di sini tidak menjadi syarat mutlak bagi wanita ketika pergi haji dan umrah. Mahram di sini dimaknai sebagai perhatian Islam terhadap keamanan wanita selama dalam perjalanan. Terlebih, pada masa dahulu, keamanan di perjalanan belum terjamin. Namun, ketika keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami.

Tuh, kedua pendapat para ulama berbeda bahkan berseberangan ya!

Kedua kubu pun mampu menghadirkan dalil yang kuat, yang menjadi pondasi pendapat mereka, khususnya dari hadis-hadis Rasulullah.

Pihak yang mewajibkan adanya pendampingan mahram bagi perempuan yang berangkat haji, berpegang dengan aturan yang digariskan oleh Rasulullah.

Khalid Sayyid Ali pada Ensiklopedi Hal-Hal yang Haram Bagi Muslimah (2019: 327) mengungkapkan, Rasulullah bersabda, “Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, tidak halal bermusafir yang menempuh perjalanan selama tiga hari lebih, kecuali bersama bapaknya, atau saudara lelakinya, atau suaminya, atau anak laki-lakinya, atau mahramnya. (HR. Muslim, Tirmidzi dan selainnya)

Apabila berlandaskan hadis ini, dapatlah kita memahami mengapa ulama Abu Hanifah sampai menyebut tidak adanya kewajiban ibadah haji bagi wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemani perjalanannya. Karena dalam hadis di atas teramat jelas disebutkan perempuan bepergian lama itu harus ada pendampingan. Mau bagaimana lagi, itu kan perintah Rasulullah!

Sementara itu, kalangan ulama yang berpendapat bolehnya muslimah berangkat haji tanpa muhrim juga berlandaskan hadis Rasulullah, dan logika mereka juga dapat diterima akal pula.

Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam buku Fikih Wanita Empat Madzhab Bab Puasa, Zakat, Haji & Umrah (2021: 39) menerangkan:

Imam Bukhari meriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia berkata, suatu ketika di saat aku sedang berada di sisi Nabi saw. tiba-tiba datang seorang lelaki lalu mengadukan kepada beliau tentang kemiskinan yang menimpanya. Sesudah itu datanglah lelaki lain yang mengadukan tentang perampokan di tengah perjalanan.

Beliau lalu bertanya kepadaku, “Wahai Adi, tahukan engkau di mana Hirah?”

Aku menjawab, “Aku tidak tahu, namun pernah mendengar nama itu.”

Beliau bersabda, “Jika engkau diberi umur panjang, niscaya engkau akan melihat seorang wanita yang mengadakan safar (perjalanan) dari Hirah hingga bisa tawaf di Ka’bah tanpa merasa takut kepada siapa pun, selain kepada Allah.”

Selanjutnya Adi berkata, “Di kemudian hari, aku pun benar-benar melihat adanya wanita yang mengadakan safar dari Hirah (menuju Mekah) hingga bisa tawaf di Ka’bah tanpa merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah."

Hadis ini tidak kalah menarik sebagai dalil membolehkan muslimah berangkat haji tanpa mahram.

Bukankah hadis itu didahului kejadian yang menggetarkan nyali, tentang orang-orang yang terganggu perjalanan hajinya oleh kemiskinan bahkan juga perampokan. Itu artinya kondisi tidak aman toh!

Namun, dengan visi masa depan yang diberikan Allah Swt., Nabi Muhammad memberikan kabar gembira, kelak di masa depan keadaan akan aman sentosa. Sehingga seorang perempuan dapat melakukan perjalanan haji dari Hirah di Irak menuju Mekah dengan selamat. Bahkan Adi bin Hatim kemudian hari membuktikan perkataan futuristik Rasulullah ini.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih