Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

“TOLONG pertimbangkan lagi pernikahan ini,” ucap perempuan itu lirih. Begitu halus ia membingkai penolakan nan lembut meski di hatinya cinta telah mendalam kepada pemuda yang melamarnya itu.

Perempuan itu pernah menikah sebelumnya dan memiliki beberapa anak. Banyak lelaki terpikat dan ingin memperistrinya. Hingga seorang pemuda datang dan membuka hati perempuan itu. Perbedaan usia tidaklah menjadi masalah bagi keduanya. Namun sebagai ibu yang memiliki putri, perempuan itu harus berpikir lebih panjang.

Karena telah tersibak sesuatu yang mengejutkan, rahasia yang tersimpan rapat akhirnya terkuak juga, rupanya pemuda itu pernah menjalin hubungan serius dengan putrinya. Tetapi mungkin belum berjodoh, hubungan keduanya pun kandas di tengah jalan. Siapa sangka kemudian hari pemuda itu jatuh hati kepada ibu dari mantan kekasihnya.

Putrinya tidak masalah dengan pernikahan ibunya dan mengaku tidak ada perasaan lagi, begitu pun serupanya alasan si pemuda. Tetapi perempuan itu cukup serius belajar agama, dan memahami penikahan itu akan membuat putrinya menjadi mahram bagi si pemuda (yang akan menjadi ayah tirinya).

Kelak, andai perasaan dua insan kembali bersemi, sekalipun perempuan itu bercerai ataupun mati, tetap saja pemuda itu tidak boleh menikahi putri tirinya.

“Lebih baik berpahit-pahit dari sekarang.”

Itulah ungkapan perempuan itu kepada pemuda berkualitas jempolan. Dia mengungkapkan secara terbuka tentang putrinya yang akan menjadi mahram dikarenakan hubungan pernikahan, status putrinya menjadi haram dikawini. Bagaimana kalau di masa mendatang perasaan cinta yang lama itu bersemi lagi, sementara statusnya sudah menjadi mahram?

Bagi kaum Muslimin, kejadian ini hendaknya menyadarkan betapa pentingnya mendalami ilmu-ilmu agama.

Memang perlu sekali mempelajari fikih Islam supaya memiliki bahan pertimbangan dalam membuat keputusan. Ingatlah, pernikahan bukan saja tentang hubungan dua insan, melainkan berkaitan dengan hubungan dua keluarga, dan siapa dapat menyangkal adanya keluarga istri yang menjadi mahram.

Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam bukunya Fikih Wanita Empat Madzhab Bab Puaza, Zakat, Haji & Umrah (2021: 35) menerangkan, mahram adalah laki-laki yang haram menikahinya, baik karena faktor nasab (garis keturunan), radha'ah (hubungan susuan), atau mushaharah (hubungan pernikahan).

Biasanya yang akrab terdengar adalah mahram yang berhubungan dengan seketurunan dan sepersusuan. Namun, akan amat disayangkan jika kita tidak memahami mahram yang terjadi akibat hubungan pernikahan. Karena apapun jenisnya, yang namanya mahram tidak boleh terjadi perkawinan.

Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan (2019: 220) menguraikan, yang dimaksud dengan mushaharah adalah hubungan kekeluargaan dan kemahraman yang terbentuk sebagai akibat dari terjadinya pernikahan.

Ketika seorang laki-laki menikahi istrinya, maka secara otomatis ibu mertuanya menjadi mahram.

Demikian juga bila istri sudah punya putri sebelumnya, secara otomatis hubungannya menjadi mahram juga. Inilah yang dimaksud dengan kemahraman yang timbul akibat pernikahan atau mushaharah.

Dengan lebih terperinci, mushaharah atau hubungan mahram akibat pernikahan ini diterangkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an.

Surat an-Nisa ayat 23 tentang mushaharah, yang artinya, “(Diharamkan atas kamu menikahi) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan (2019: 221-223) memerinci yang menjadi mahram dikarenakan hubungan pernikahan:

a.    a.    Ibu dari istri (mertua wanita)
Seorang laki-laki diharamkan selama-lamanya menikahi ibu dari istrinya, atau mertua perempuannya. Meski berstatus mantan mertua, tetap haram untuk terjadinya pernikahan antara bekas menantu dengan bekas mertuanya.

a.    b.    Anak wanita dari istri (anak tiri)
Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meskipun ibunya telah wafat atau bercerai.

Namun ada sedikit pengecualian, yaitu bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi.

Dasarnya adalah surah An-Nisa ayat 23, yang artinya, “(Diharamkan atas kamu menikahi) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya).”

a.    c.    Istri dari anak laki-laki (menantu)
Seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi istri dari anaknya sendiri, atau dalam bahasa lain menantunya sendiri. Dasar keharamannya adalah firman Allah, surat an-Nisa ayat 23, yang artinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)” Dan keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meskipun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.

a.    d.    Istri dari ayah (ibu tiri)
Sedangkan yang dimaksud dengan istri dari ayah tidak lain adalah ibu tiri. Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi putranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri. Dan status ibu tiri sama haramnya untuk dinikahi sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung.

Dalil pengharaman untuk menikahi ibu tiri adalah firman Allah Swt., surat an-Nisa ayat 22, yang artinya, "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih