Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MEMASUKI tahun ke-3 pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi tahu bahwa fase akut COVID belum dapat dikatakan telah berakhir. Meskipun beberapa negara mungkin sudah mengakhiri fase darurat pandemi, kondisi tersebut tidak merata di semua negara di seluruh dunia.

Dalam laporan pandemi mingguan yang dirilis 11 Mei 2022, badan kesehatan PBB mengatakan sekitar 3,5 juta kasus baru dan lebih dari 25.000 kematian dilaporkan secara global, yang masing-masing mewakili penurunan 12 persen dan 25 persen. Meskipun ada tren penurunan, WHO menjelaskan diakibatkan menurunnya jumlah pengujian.

Mengenai situasi COVID di seluruh dunia, Kepala Tim Teknis WHO Maria Van Kerkhove dalam konferensi pers mengatakan, "Kita hidup di dunia yang saling terhubung. Sementara beberapa negara mungkin dapat mengakhiri fase darurat pandemi ini, kami tidak melihatnya di semua negara di seluruh dunia. Jadi kami perlu terus melawan ini di tingkat global."

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan bahwa meningkatnya kasus di lebih dari 50 negara memperlihatkan bagaimana virus corona bisa mudah "berubah" (bermutasi).

Tedros mengatakan varian COVID-19, termasuk versi mutasi dari omicron yang sangat menular, mendorong kebangkitan COVID-19 di beberapa negara, termasuk Afrika Selatan, yang merupakan negara pertama yang mengidentifikasi omicron pada November.

Tedros menambahkan bahwa tingkat kekebalan populasi yang relatif tinggi mencegah lonjakan rawat inap dan kematian. Sebaliknya, tidak ada jaminan untuk tempat-tempat di mana tingkat vaksinasi rendah. Diketahui, hanya sekitar 16 persen orang di negara-negara miskin yang telah divaksinasi COVID-19.

Kantor WHO di Afrika mengatakan bahwa kasus di Afrika Selatan telah meningkat empat kali lipat dalam tiga minggu terakhir dan kematian akibat COVID-19 meningkat dua kali lipat.

WHO mencatat bahwa subvarian omicron yang paling mengkhawatirkan adalah BA.4 dan BA.5, karena banyaknya mutasi dan ketidakpastian tentang bagaimana mereka dapat mempengaruhi kekebalan.

Namibia dan Eswatini yang berbatasan dengan Afrika Selatan juga melaporkan 50 persen lebih banyak kasus COVID-19 dalam dua minggu terakhir.

Laporan WHO mencatat bahwa beberapa lompatan terbesar dalam kasus COVID-19 terlihat di China, yang mengalami kenaikan 145 persen dalam seminggu terakhir. Hal itu mendorong WHO mempertanyakan keberlanjutan kebijakan "Zero COVID" negara itu.

"Ketika kita berbicara tentang strategi Zero COVID, kami tidak berpikir itu berkelanjutan, mengingat perilaku virus sekarang dan apa yang kami antisipasi di masa depan," kata Tedros.

WHO menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh 'mengalihkan pandangan' dari virus. Dengan setiap mutasi, subvarian omicron menjadi lebih menular daripada yang sebelumnya.

"Apa yang dapat kami katakan adalah seiring berkembangnya virus ini, varian terbaru—omicron dan semua sub-garis keturunan—lebih mudah menular daripada varian terakhir yang beredar, dan kami tahu bahwa itu akan terus berlanjut. Akan ada lebih banyak varian SARS-CoV-2," ujar Maria.

"Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan virus ini meskipun ada banyak tantangan lain yang beredar."

 




Kencangkan Dukungan ke Palestina, Universitas Siber Muhammadiyah Gelar Aksi Hybrid dan Penggalangan Dana

Sebelumnya

Kelompok Pro-Israel Serang Demonstran Pro-Palestina, Bentrokan Terjadi di Kampus UCLA

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News