Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

RAMADHAN yang ditunggu-tunggu sepenuh rindu akhirnya berujung perbedaan yang mengharu-biru.

Orang-orang pun saling bertanya, mengapa sesama umat Islam malah berbeda hari dalam memulai ibadah puasa? Bukankah Tuhan kita sama, Nabi kita sama, kiblat kita sama, dan kitab suci juga sama, lantas kenapa harus berbeda dalam memulai puasa?

Baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU) adalah dua organisasi keislaman dengan pengikut sangat besar di Indonesia. NU menetapkan 3 April sebagai permulaan Ramadhan, adapun Muhammadiyah jauh-jauh hari menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada 2 April 2022. Kemudian, dari sidang Isbat, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama menetapkan awal Ramadhan adalah Minggu, 3 April 2022.

Lho, kok pemerintah Indonesia tidak menyeragamkan saja awal mula berpuasa?

Ya, karena menyeragamkan pendapat memang bukan tugas pemerintah, dan memang tidak mungkin diseragamkan, sebab perbedaan itu sesuatu yang boleh.

Baik NU atau Muhammadiyah sama-sama organisasi besar yang memiliki pakar-pakar hebat, jadi perbedaan ini telah berlandaskan kapasitas keilmuan yang mumpuni, tidak perlu diragukan lagi.

Namun, sebagai umat kita pun berhak mengetahui akar perbedaan yang membuat awal Ramadhan ini bisa berlainan hari. Dan pangkal mula perbedaan terletak pada metode yang dipakai.

NU menggunakan metode yang populer dengan sebutan Imkanur Rukyah (melihat posisi hilal atau bulan baru), adapun Muhammadiyah menggunakan metode Hisab (memperhitungkan posisi hilal dengan ilmu falak atau astronomi).

Sebagaimana dikutip dari Watni Marpaung dalam bukunya Pengantar Ilmu Falak (2015: 89-90) menerangkan, di Indonesia terdapat aneka ragam cara yang ditempuh untuk menentukan awal-awal bulan Qamariyah.

Ada yang menempuhnya dengan cara rukyatul hilal bil fi'il dengan memakai teori Imkanur Rukyah dalam hal ini diwakili oleh ormas Nahdlatul Ulama, Alwasliyah dan ada pula yang menempuhnya dengan cara Hisab dengan berpegang kepada teori Wujudul Hilal dalam hal ini dianut oleh ormas Muhammadiyah.

Meskipun demikian, bukan berarti kelompok pertama tidak menggunakan Hisab, bagi mereka hasil Hisab sebagai pemandu dan pendukung dalam pelaksanaan rukyah.

Kedua metode itu sama bagusnya, dan sama-sama diakui dalam agama Islam. Karena memang tidak satu jalan ke Mekah, toh!

Mau yang lebih detail?

Muhammad Najib dalam bukunya Mengapa Umat Islam Tertinggal? (2021: 107-108) menerangkan, pakar astronomi Prof. Thomas Jamaluddin menyebutkan perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah di dalam menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal (Idul Fitri) bukan karena perbedaan metode yang selama ini dikenal dengan sebutan Hisab (untuk Muhammadiyah) dan Rukyah (untuk NU), akan tetapi perbedaanya pada kriteria. Jika NU menggunakan kriteria di atas 2 derajat baru dinyatakan masuk bulan baru, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria di atas nol derajat.

Dari rangkaian penjelasan di atas dapat dipahami perbedaan yang terjadi berdasarkan alasan yang kuat dan diperbolehkan lho. Ormas-ormas Islam itu menetapkan 1 Ramadan melalui tenaga para ahli yang diakui.

Jadi, bagaimana dong menanggapi perbedaan ini?

Tidak perlu galau, karena kedua pendapat tentang 1 Ramadhan ini sama benarnya. Dengan demikian, apapun yang kita pilih tidak akan berujung kesalahan dalam berpuasa. Sehingga perbedaan ini tidak perlu dirisaukan apalagi dipersengketakan.

Perbedaan ini jadinya makin menarik tatkala mempertanyakan lebih ke hulu lagi, mengapa menentukan awal mula Ramadhan dengan hilal (bulan sabit muda pertama yang menjadi petanda permulaan datangnya bulan baru)? Begitu banyaknya benda-benda di langit, kenapa harus bulan ya?

Ternyata bulan itu tergolong benda langit yang paling lemah cahayanya. Bahkan bulan tidak memiliki cahaya sendiri, hanya menerima pantulan dari dari sinar matahari. Dengan demikian, cukup sulit melihat penampakan hilal disebabkan cahaya bulan yang memang lemah.

Justru itu, mengapa awal Ramadhan tidak memakai pertanda dari benda langit lainnya saja yang bercahaya benderang?

Di sini lagi-lagi ada hikmahnya!

Dengan kondisi bulan yang bercahaya lemah, ini menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meningkatkan kemampuan sains. Sehingga ilmuan muslim menciptakan sejak dahulu kala ilmu falak, yang mampu memperhitungkan berdasarkan astronomi dari pergerakan benda-benda langit dan tentu termasuk posisi hilal.

Kemudian tercipta pula berbagai peralatan canggih dalam mengamati posisi hilal dan tentu juga benda-benda langit lainnya. Jangan heran apabila banyak ulama terdahulu selain tentunya mendalam ilmu agama mereka juga jago astronomi.

Ternyata hikmahnya tidak berhenti sampai di sini saja, lho!




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur