KOMENTAR

SUATU ketika Rasulullah melewati pasar, sementara orang-orang ada di sekitarnya. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang cacat, kemudian beliau berujar, “Siapakah di antara kalian yang suka anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?”

Orang-orang pun menjawab, “Kami tidak ingin membelinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”

Rasulullah kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?”

“Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini pun masih hidup, tetaplah cacat, apalagi telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka.

Maka bersabdalah Rasulullah, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim) (Ahmad Sabban al-Rahmaniy dalam bukunya Titian Para Sufi & Ahli Makrifah [2019: 13])

Kian hari huru-hara di dunia ini makin pekat saja, kadang kekacauannya pun tidak ternalar. Ayah dan anak saling jegal demi keserakahan ambisi, ibu menggorok buah hati, teman malah menerkam teman seperjuangan, perang meletus yang dampaknya menyengsarakan hampir seluruh penghuni bumi.

Huru-hara dunia terjadi karena manusia memujanya atau memperebutkannya. Lucunya, manusia memperebutkan dunia yang fana, sesuatu yang tidak mungkin abadi.

Dan bagian yang tidak lucunya adalah, dunia yang diperebutkan ini hanyalah sesuatu yang hina, bahkan dengan uang receh pun tidak pantas dikejar. Hinanya dunia digambarkan oleh Nabi Muhammad lebih rendah dibanding bangkai kambing cacat. Bangkai lho!

Seperti biasa, kita akan selalu tersindir dari setiap perumpamaan yang disampaikan oleh Rasulullah.

Betapa kedamaian ini dapat menjadi sirna, hidup umat manusia tidak lagi tenang disebabkan oleh huru-hara yang dikecamukan oleh manusia itu sendiri.

Tidak perlu kita menunggu perang nuklir, karena kini hura-hura yang ada tengah menggiring umat manusia kepada kepunahan. Dan celakanya, yang paling potensial musnah itu adalah nilai-nilai dari kemanusiaan itu sendiri.

Lantas mengapa kedamaian yang dituju?

Islam sendiri adalah agama damai. Namun, hanya dengan ber-Islam secara kaffah maka kedamaiannya itu dapat dinikmati.

Surat Al-Baqarah ayat 208, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Sekilas, orang-orang bisa mengernyitkan dahinya, merasa ada yang ganjil, yang patut dipertanyakan terkait ayat di atas. Sudah jelas orang-orang telah beriman, mengapa disuruh masuk Islam lagi ya?

Jelas, tidak mungkin ada kesia-siaan dalam kitab suci Al-Qur’an. Orang-orang mukmin diminta masuk Islam secara kaffah (sempurna), karena keislaman itu haruslah total. Kita tidak akan benar-benar merasakan kesegaran air telaga jika hanya membasahi ujung kaki saja.

Kesejukan damai yang dihidangkan agama Islam hanya akan dinikmati oleh mereka yang kaffah padanya. Apabila ada orang yang mengaku pemeluk Islam tetapi menjadi biang huru-hara dunia, maka yang patut dipertanyakan apakah dirinya sudah kaffah beragama?

Mengapa orang-orang memperebutkan dunia dengan menebar huru-hara? Kenapa mereka meninggalkan kedamaian hanya demi bertarung untuk sesuatu yang rendah? Bukankah mereka tahu dunia itu teramat receh?

Ayat di atas dengan terang benderang memberikan isyarat bahwa hura-hara dunia pangkal masalahnya adalah hasutan setan. Dari itu jangan pernah mengikuti langkah-langkah setan kalau tidak mau celaka bahkan binasa.

Bisa kok kita memperoleh kedamaian di tengah huru-hara, asalkan konsisten berpegang teguh dalam Islam. Ketika mengaku beriman, ya ber-Islamlah dengan damai. Terlebih lagi, kata Islam sendiri lebih kental mengandung makna damai.

Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (2006: 41), pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyad (tunduk patuh), dan al-ikhlash (tulus) di samping itu diartikan juga dengan al-tha'ah (taat) serta al-salam (damai atau selamat).

Ketika berikrar masuk Islam, maka peluklah Islam secara kaffah hingga kedamaian itu benar-benar merasuki lubuk terdalam sanubari.

 




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur