Presiden terpilih Korea Selatan Yoon Suk-yeol saat upacara pembubaran kamp pemilihan presiden di Perpustakaan Majelis Nasional di Seoul pada 10 Maret 2022/ Foto: AFP
Presiden terpilih Korea Selatan Yoon Suk-yeol saat upacara pembubaran kamp pemilihan presiden di Perpustakaan Majelis Nasional di Seoul pada 10 Maret 2022/ Foto: AFP
KOMENTAR

KOREA Selatan baru menuntaskan pemilihan presiden pada 10 Maret 2022 dengan kemenangan tipis Yoon Suk-yeol (61) dari Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party, PPP) yang merupakan partai oposisi.

Sebelumnya, Korea Selatan di bawah kepemimpinan Presiden Moon Jae-in telah berhasil menunjukkan kemajuannya di pentas internasional, terutama di bidang teknologi dan budaya.

Selama pemerintahannya, Presiden Moon begitu gencar mengupayakan terciptanya perdamaian di antara Korea Selatan dan Korea Utara. Namun upaya meredakan ketegangan yang terjadi sejak tahun 1950 dan melibatkan Amerika Serikat juga China, tak kunjung terealisasi.

Meskipun Presiden Moon mengklaim bahwa keempat negara telah sepakat secara prinsip untuk mendeklarasikan akhir Perang Korea secara formal, hal tersebut belum bisa terwujud karena Korea Utara mengajukan sejumlah tuntutan.

Dikenal sebagai sosok liberal, Presiden Moon juga telah membawa kebudayaan pop Korea disukai masyarakat global. Salah satu yang mencuri perhatian adalah Kesuksesan grup musik BTS sepanjang tahun 2021.

Mereka berpidato di markas besar PBB—dalam kapasitas sebagai Utusan Khusus Presiden Korea Selatan untuk Generasi dan Budaya Masa Depan, menyabet penghargaan Favourite Pop Duo or Group, Favourite Pop Song, dan Artist of The Year di ajang American Music Awards 2021, serta menggelar konser besar selama empat malam di SoFi Stadium, Los Angeles.

Namun siapa sangka, di balik 'gemerlap' Korea Selatan yang diperlihatkan ke mata dunia, partai oposisi berhasil menangkap gejolak sosial yang terjadi di masyarakat dan menjadikannya kampanye yang memenangkan Yoon Suk-yeol.

Berasal dari partai konservatif, banyak pihak memprediksi bahwa kehidupan rakyat Korea Selatan akan berbeda setelah Yoon Suk-yeol berkuasa.

Dilansir Bloomberg, kemenangan tipis konservatif Yoon Suk-yeol dalam pemilihan presiden Korea Selatan bisa berarti perubahan kebijakan besar bagi ekonomi terbesar keempat di Asia tersebut.

Yoon Suk-yeol adalah mantan jaksa tinggi yang mengundurkan diri dari pemerintahan Presiden Moon Jae-in berkaitan dengan perselisihan tentang penyelidikan korupsi.

Presiden terpilih Yoon menyerukan pertumbuhan yang dipimpin lebih banyak sektor swasta. Dan berbeda dari pendahulunya, Yoon Suk-yeol memilih pendekatan lebih keras terhadap China dan Korea Utara.

Selama pemilihan presiden, ia menghadapi tantangan dari banyak pemilih perempuan yang merasa terasing dengan pernyataannya dalam kampanye.

Berikut ini 5 (lima) fakta seputar kemenangan Yoon Suk-yeol, presiden Korea Selatan terpilih yang akan dilantik Mei mendatang.

1# Dibayangi Ketegangan dengan China

Yoon berjanji untuk menjadikan Korea Selatan sebagai “negara penting” dalam perjuangan global untuk kebebasan, perdamaian, dan kemakmuran. Hal itu menunjukkan bahwa dia mungkin menjadi mitra yang lebih antusias dalam upaya Presiden AS Joe Biden untuk membangun koalisi demokrasi.
Yoon juga menyerukan penyebaran tambahan sistem pencegat rudal buatan AS yang dikenal sebagai THAAD, yang dipastikan makin membuat gerah China.

2# Disambut Baik Pasar

Indeks Kospi utama Korea Selatan melonjak setelah Yoon memenangkan perlombaan, didorong oleh janji kampanye ramah bisnisnya. Seruannya untuk menghapus pajak capital gain akan mengakhiri rencana Moon untuk memperkenalkan pajak sebanyak 25% pada investor tahun depan. Pelaku pasar mengatakan Yoon dapat menurunkan tarif pajak perusahaan, dan itu akan membantu pasar yang lesu.

3# Dimusuhi Aktivis Kesetaraan Gender

Kampanye Yoon merayu pemilih laki-laki muda yang menentang langkah-langkah kesetaraan gender dengan berdebat di jalur kampanye. Moon dicurigai menyusun sistem untuk melawan pro-feminisme.

Dia berjanji untuk menutup Kementerian Kesetaraan Gender, yang dapat memberikan pukulan terhadap rencana untuk mempersempit kesenjangan upah gender yang telah menjadi isu terbesar di negara maju yang tumbuh pesat selama pandemi COVID-19 itu.

Pemilihan presiden tahun ini disebut-sebut paling dramatis dalam sejarah Korea Selatan karena mengusung feminisme. Politik gender belum pernah digunakan oleh kandidat pilpres untuk menentukan strategi kampanye utama, bahkan memicu perpecahan antara laki-laki dan perempuan.

Namun mengambil untung dari kebencian dan perpecahan bukanlah hal baru dalam politik. Contoh yang dialami Korea Selatan saat ini menunjukkan betapa cepatnya arus dapat berbalik melawan gerakan progresif.

Di antara isu yang diangkat Yoon adalah memanfaatkan ketidaksukaan laki-laki muda di Korea Selatan yang harus menjalani wajib militer hingga mereka harus berhenti dari karier profesional sementara perempuan tetap bisa berkarier tanpa halangan.

Yoon juga menyebut bahwa emansipasi perempuan di Korea Selatan telah kebablasan, ia menyalahkan perempuan yang memilih melajang dan meniti karier hingga angka kelahiran di Korea Selatan sangat rendah.




Din Syamsuddin Jadi Pembicara dalam Sidang Grup Strategis Federasi Rusia-Dunia Islam di Kazan

Sebelumnya

Buku “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” Karya Teguh Santosa Hadir di Pojok Baca Digital Gedung Dewan Pers

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News