Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DIRI kita yang notabene memiliki bejibun kekurangan, akan teramat sakit jika dinista oleh orang lain. Kita akan melakukan pembelaan bahkan perlawanan sekuat tenaga, tak terkecuali dengan berkorban apapun. Dari itu, jangan ditanya bagaimana sakitnya kalau agama suci ini yang dinista, sakitnya itu bukan di sini, tapi di sana-sini.

Agama itu sesuatu yang amat ditinggikan oleh para penganutnya. Karena di dalam agama itu ada keimanan terhadap Tuhan, nabi, kitab suci dan konsep-konsep luhur lainnya yang amat dimuliakan. Sebagai sesuatu yang paling ditinggikan, maka barisan pembela agama luar biasa banyaknya.

Dari itu tidak pula mengherankan apabila perang terlama dalam sejarah dunia ini adalah perang agama, berlangsung nyaris dua abad dengan berkali-kali episode, yang disebut dengan Perang Salib.

Oleh sebab itu berhati-hatilah menjaga lisan, dan lebih berhati-hati lagi agar tidak menista agama manapun juga. Karena yang menjadi korban bukan satu dua orang, melainkan banyak umat penganutnya.

Dan sekarang memang lagi hangat-hangatnya kemarahan umat Islam terhadap seseorang yang menista agama, menghina nabi dan melecehkan ajaran suci Islam. Kian pesat teknologi informasi maka semakin mudah bagi mulut berbisanya menyebarkan penistaan.

Penistaan itu tidak akan sirna di bumi ini selagi masih ada orang-orang yang menumpuk berton-ton kebencian di hatinya. Untuk menghadapi kejadian macam ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan umat Islam, di antaranya:

Pertama, kemarahan ini memang sudah sewajarnya.

Hanya keledai dungu yang tidak bisa marah. Nabi Muhammad tidak akan marah, selama dirinya yang dihina atau dinista. Akan tetapi beliau akan amat marah jika agama yang dilecehkan.

Inilah saatnya kita marah, tetapi dengan cara yang bermartabat. Jangan sampai kemarahan itu malah menjatuhkan kehormatan diri kita, atau malah mencoreng citra Islam. Jangan terjadi kemarahan yang justru merugikan diri kita dan menguntungkan pihak penista.

Apa maksudnya?

Misalnya, kita balik menyerang dengan kata-kata yang tidak sopan, atau  balik melecehkan atau menista orang tersebut atau agamanya. Parahnya lagi, saking tidak terkendalinya amarah, kita sampai melakukan kekerasan atau anarkisme.

Kemarahan model begini bukanlah solusi, malahan akan menjadi sumber datangnya kehinaan. Dan malangnya lagi, imbas dari lepas kontrolnya kemarahan kaum muslimin, maka citra Islam sebagai agama penuh cinta pun akan tercoreng.

Marahlah dengan bijaksana, dengan tujuan menyadarkan orang, agar dunia tahu betapa lembutnya agama suci ini.

Di antara cara marah yang bijaksana itu adalah dengan menempuh jalur hukum. Kepada supremasi hukumlah kita mempercayakan keadilan, sehingga kita tidak perlu main hakim sendiri, yang dapat merugikan hak-hak orang lain.

Kedua, hendaknya makin memperkokoh cinta.

Landasan kita amatlah kuat dalam membela agama, yaitu cinta. Apabila kita tidak membela agama dengan cinta, maka terlahirlah tindakan yang justru mengundang kebencian orang.

Justru ketika agama kita dinista, maka kita dapat melihat ke lubuk sanubari, dengan menimbang-nimbang sedalam apakah cinta terhadap agama ini. Apabila kita cuek saja, maka terlihat cinta kita itu masih lemah. Apabila kita larut dalam amarah yang negatif atau destruktif, maka cinta itu telah membutakan.

Islam ini agama cinta, rahmat bagi alam semesta. Ketika Nabi Muhammad dicaci, dihina, diusir bahkan dilempari batu oleh penduduk Thaif hingga kepala sucinya berlumuran darah, tetapi Nabi Muhammad menepis kesempatan balas dendam. Beliau malah mendoakan agar penduduk Thaif mendapatkan hidayah.

Dengan penghinaan atau penistaan atau apalah itu sebutannya, hendaknya semakin membuat kita memantapkan hati untuk lebih mencintai Islam. Kita lebih mendalam lagi mempelajari ajaran agama ini. Tak kenal makanya tak cinta.

Ketiga, kian menggelorakan semangat dakwah.

Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya Mukhtasar Shahih Muslim menceritakan:
Ketika kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah saw., tiba-tiba seorang Arab Badui datang lalu kencing di masjid sambil berdiri. Maka para sahabat Rasulullah berkata kepadanya, “Mah! Mah!”

Anas melanjutkan, Rasulullah berkata, “Janganlah kalian mengusirnya, biarkanlah dia.” Para sahabat pun membiarkan orang tersebut hingga ia menyelesaikan kencingnya.

Lalu Rasulullah memanggilnya sambil berkata kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak digunakan untuk kencing dan untuk kotoran, akan tetapi sesungguhnya masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al-Qur'an.”

Anas berkata, “Kemudian Rasulullah menyuruh salah seorang untuk membawa timba berisi air dan kemudian menyiramkan pada tempat kencing tadi.” (HR. Muslim)




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur