KOMENTAR

Namun isu kesehatan mental bukanlah satu-satunya yang dihadapi para atlet Olimpiade.

Sprinter AS Gabby Thomas lolos kualifikasi Olimpiade Tokyo satu bulan setelah para dokter menemukan tumor hati jinak dalam tubuhnya.

Bintang tenis  Venus Williams didiagnosis penyakit autoimun sindrom Sjogren namun tidak menghentikannya berlaga di Olimpiade Rio de Janeiro tahun 2016. Sjogren's syndrome adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang ditandai mata kering dan mulut kering.

Lain pula pengalaman Shannon Box yang berjuang mengatasi kelelahan, nyeri sendi, dan nyeri otot akibat peradangan yang disebabkan penyakit lupus. Ia berkontribusi memenangkan medali Olimpiade untuk tim sepak bola perempuan AS tahun 2004, 2008, dan 2012. Saat ini Shannon aktif dalam Lupus Foundation of America untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang penyakit tersebut.

Nama-nama di atas hanyalah contoh dari banyaknya atlet Olimpiade yang membuka diri untuk menginspirasi kesadaran publik terhadap isu kesehatan. Pengakuan tersebut mengikuti jejak pendahulu mereka seperti Lance Armstrong (kanker testis), Greg Louganis (HIV), dan Peggy Fleming (kanker payudara).

Yang sangat menarik dari kisah para atlet adalah mereka terlihat seperti orang-orang yang sangat tidak mungkin terkena gangguan kesehatan semacam itu. Namun para atlet justru menggarisbawahi bahwa tidak ada seorang pun yang kebal terhadap penyakit mental dan penyakit fisik akut serta kronis.

Keberanian para atlet membuka diri terhadap isu kesehatan yang mereka alami diapresiasi oleh Prof. Leana. Profil atlet papan atas yang mereka miliki bisa menciptakan pengaruh besar bagi banyak orang, bahkan lebih besar dari yang bisa dilakukan para dokter.

"Kisah mereka tentang diagnosis dini dan pengobatan bisa memotivasi banyak orang untuk segera memeriksakan diri, hal itu tentu berpotensi menyelamatkan nyawa mereka. Banyak orang mengidolakan para atlet yang berani menyuarakan kondisi kesehatan mereka, dan apa yang dilakukan para atlet itu benar-benar bisa mengubah hidup dan menyelamatkan hidup orang banyak," ujar Prof. Leana.

Menurutnya, banyak orang yang enggan berkonsultasi ke dokter atau bahkan tidak memiliki dokter pribadi. Tapi mereka bisa termotivasi untuk memeriksakan diri setelah melihat apa yang terjadi pada atlet favorit mereka.

Banyak atlet Olimpiade (terutama asal Amerika Serikat) yang membuka permasalahan kesehatan mereka dengan alasan termotivasi meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus menjelaskan bahwa para atlet hebat sekali pun tidak kebal dengan isu yang dekat dengan kehidupan awam.

Seperti Naomi Osaka, meski berat, menurutnya sangat penting dunia mengetahui bahwa masalah kesehatan bisa menimpa siapa pun, termasuk para atlet terbaik dunia.

Belajar dari Atlet Ternama

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran dari kisah para atlet di atas.

Pertama, mereka menekankan pentingnya memperhatikan tanda dan gejala kesehatan yang bisa berpotensi pada kondisi penyakit mental maupun penyakit fisik yang serius.

Kedua, para atlet menekankan pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan berkala, melakukan langkah-langkah pencegahan, serta menjalankan kebiasaan dan gaya hidup sehat.

"Kita tahu tentang pentingnya latihan fisik, nutrisi yang baik, pola makan seimbang, banyak minum, tidur cukup, tidak merokok, dll. Tapi tahu saja tidak cukup. Dibutuhkan keyakinan untuk bisa menjalankan semua itu di tengah maraknya ketidakpercayaan kepada kalangan medis atau beredarnya banyak informasi menyesatkan. Vaksin dan pengobatan terbaik tidak akan berguna tanpa ada ketertarikan sosial," ujar Prof. Annie.

Ia pun menegaskan bahwa kesehatan mental adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kesehatan fisik.

Prof. Annie menyayangkan Komite Olimpiade Internasional (IOC) tidak menganggap serius parameter tersebut. Menurutnya, para atlet muda dan anak-anak adalah yang paling rentan menderita gangguan kesehatan mental sekaligus menjadi yang paling sulit mendapatkan dukungan.

"Pemain sepak bola, tenis, basket mungkin punya serikat-serikat (sebagai perwakilan), tapi penyelam, perenang, dan pesenam tidak punya," ujarnya.

"Masyarakat kita masih memiliki stigma terhadap kesehatan mental. Kita tidak melihat kesehatan mental sama seperti kita melihat kesehatan fisik. Maka ketika Michael Phelps atau Naomi Osaka atau atlet lain berbicara tentang tantangan mereka menghadapi gangguan kesehatan mental, itu benar-benar mampu mengurangi stigma, mengusir ketakutan dan rasa malu, serta menyemangati orang banyak untuk mendapatkan pengobatan," tegas Prof. Leana.




Din Syamsuddin Jadi Pembicara dalam Sidang Grup Strategis Federasi Rusia-Dunia Islam di Kazan

Sebelumnya

Buku “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” Karya Teguh Santosa Hadir di Pojok Baca Digital Gedung Dewan Pers

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News