foto: instagram @nadiemmakarim dan @iqbaal.e
foto: instagram @nadiemmakarim dan @iqbaal.e
KOMENTAR

BULLYING alias perundungan menjadi satu fenomena turun-temurun yang sangat sulit dihapuskan. Bahkan di sekolah yang dikenal memiliki sistem pendidikan yang bagus pun, bullying bisa terjadi. Ibarat “hukum rimba”; siapa yang kuat akan menindas siapa yang lemah.

Isu bullying menjadi topik hangat yang dibicarakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat ngobrol bareng Iqbaal Ramadhan via Instagram Live, Desember lalu.

Dalam kesempatan tersebut, keduanya berbagi pengalaman pribadi yang tidak mengenakkan akibat bullying selama bersekolah.

Siapa sangka, Iqbaal yang sudah punya banyak fans sejak menjadi anggota Coboy Junior kerap dirundung teman-teman SD. Penyebabnya karena ia yang bertubuh kecil dibanding banyak teman-temannya justru terbilang aktif menjawab pertanyaan guru dan menyampaikan pendapat.

“Dibilang cari muka ke guru. Saya dibully teman-teman sekelas dan kakak kelas, sampai dimintain uang,”kata Iqbaal yang kini sedang menempuh pendidikan di Monash University, Australia.

Menteri Nadiem menjelaskan bahwa salah satu terobosan yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah menggelar “survei karakter” untuk mencari tahu sejauh mana pemahaman dan realitas yang terjadi di sekolah terhadap nilai-nilai Pancasila, toleransi, hingga bullying dan kekerasan.

Survei tersebut diharapkan dapat memperkuat kemerdekaan belajar dan mengajar agar belajar di sekolah tidak hanya bertujuan mengejar nilai Ujian Nasional, tapi lebih kepada eksplorasi kemampuan murid—termasuk urusan minat dan bakat.

Isu bullying menjadi sangat krusial karena meskipun tidak dirasakan semua murid tapi terjadi di hampir setiap sekolah. Dan trauma yang melekat dalam diri korban bullying sangat sulit dihilangkan bahkan sampai dewasa.

Menteri Nadiem mengenang masa-masa sekolah SD hingga SMA. Waktu kecil, ia mengaku gemuk dan penampilan fisiknya terlihat berbeda dari teman-teman semasa sekolah di Tanah Air maupun di New York.

Menteri paling muda dalam kabinet Jokowi ini mengakui sering mengalami perundungan secara verbal dan beberapa kali perundungan fisik semasa SMA. Tapi akhirnya ia berani membela dirinya sendiri dengan menolak tegas perlakuan kakak-kakak kelasnya. Dan bullying itu pun berhenti.

"Karen itulah amat penting bagi anak-anak yang dibully untuk—secara konstruktif—memiliki kepercayaan diri untuk membela diri dengan mengatakan TIDAK,” ujar Menteri Nadiem yang bersekolah di luar negeri sejak usia 14 tahun.

Terkait sulitnya mengurangi kasus bullying, Menteri Nadiem menjelaskan tiga hal tidak boleh ditoleransi dalam dunia pendidikan. “Kami menyebutnya 3 dosa, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Harus ada pendekatan sistematis untuk mengubah ketiganya,” kata Menteri Nadiem.

Bullying memang menjadi satu fokus Kemendikbud saat ini. Tidak hanya korban, si bully (pelaku bullying) pun juga penting untuk digali alasannya mengapa ia melakukan bullying.

Mayoritas pelaku biasanya juga merupakan korban bullying atau mereka yang sedang mengalami masalah. Bullying kemudian menjadi refleksi seseorang yang membenci dirinya sendiri dan merasa harus mengeluarkan dominasinya untuk terlihat kuat.

Dari semuanya, kunci penghapusan bullying ada pada diri murid.

“Hasil survei kami, satu-satunya cara mengurangi insiden bullying adalah mengubah budaya dalam lingkaran sosial anak. Harus dibuat gerakan yang melibatkan anak-anak populer di kelas, para influencer, untuk menjadi guardian murid-murid yang dibully, melindungi murid lain yang jadi korban bullying,” tegas Menteri Nadiem.

Jika tidak ada tindakan dari para murid, bullying tidak akan bisa dituntaskan. Program apa pun yang dibuat pemerintah dan guru tidak akan berhasil karena intervensi orang dewasa terbatas. Anak-anak harus bersikap tegas agar bullying menjadi satu hal yang tidak bisa mereka terima. Pelaku harus mendapat sanksi sosial dari teman-temannya sendiri.

Lalu apa tanggung jawab orangtua dan guru dalam mengurangi tindakan bullying?

Pertama, memiliki sensitivitas dalam memonitor. Bangun informasi untuk ambil intervensi. Jika melihat langsung, tidak boleh ditoleransi. Tidak hanya membela korban tapi juga mencari tahu penyebab pelaku melakukannya. Ini penting untuk memutus siklus bullying.

Guru yang mendapat laporan kemudian meneruskan ke orangtua kedua pihak agar mereka bisa mendekati anak dan berdiskusi tentang apa yang terjadi. Harus ada solusi agar insiden tidak berlanjut.

Kedua, menyediakan safe zone untuk anak melaporkan bullying. Jangan sampai anak ketahuan mengadu lalu mendapat bullying tambahan. Korban akan makin tidak percaya diri dan terpuruk.

Ketiga, memperlihatkan contoh perilaku yang jauh dari bullying. Jangan sampai guru atau orangtua kerap berlaku kasar secara fisik maupun memaki anak dengan kata-kata kasar.

Adapun selama pandemi, sekolah dari rumah ternyata membawa dampak baru yaitu cyberbullying. Perundungan ini lebih berbahaya karena sifatnya lebih permanen dan diketahui lebih banyak orang. Bagaimana anak bisa bertahan dari cyberbullying?

“Memang lebih traumatik bagi anak. Tapi di sisi lain, monitoring orangtua dan murid-murid lain juga bisa lebih tinggi. Bukti cyberbullying lebih jelas, jejak digitalnya permanen.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News