SEJUMLAH tanda tanya menyelimuti kejadian berikut ini: Ketika lumuran darah meleleh di kepalanya, orang ramai-ramai menanyakan siapa pelakunya. Perempuan itu diam membisu, ketakutan menerkam sekujur tubuhnya. Masyarakat terus mendesak, tetapi dia tetap saja membeku. Pasalnya, dia hanyalah budak yang diperjualbelikan.
Orang-orang mulai menyebutkan nama-nama kemungkinan tersangka. Giliran nama majikannya disebutkan, maka perempuan itu menganggukkan kepala. Dia mengakui, lelaki itu telah menghantamkan dua batu ke kepalanya.
Sang majikan Yahudi itu diringkus dan mengakui kekejamannya di hadapan Rasulullah. Keadilan hukum Islam langsung dibuktikan. Tanpa ampun, hukum qishash pun ditegakkan. Dua batu yang sama mendarat telak di kepala lelaki itu.
Kisah yang tercantum dalam kitab Shahih Bukhari tersebut menimbulkan berbagai tanda tanya. Bukankah perempuan itu hanyalah budak, bahkan harganya bisa lebih rendah dari unta. Majikannya bebas dong melakukan apa saja terhadap yang dimilikinya. Nah, kenapa majikan mendapatkan hukuman setimpal dari perbuatannya?
Perempuan itu memang budak, tetapi hak-hak kemanusiaannya tetap dilindungi Islam. Status budak tidaklah berarti majikan dapat berlaku semena-mena. Keadilan hukum Islam itulah yang menjadi kejutan besar karena melampaui logika Jahiliyah. Terhadap manusia yang diperbudak saja demikian kuatnya perlindungan Islam, apalagi terhadap perempuan merdeka.
Sedangkan Qasim Amin juga membuat gempar. Pasalnya, ketika berbagai bangsa di dunia Islam masih terjajah, dan sedang bersusah payah menyuarakan kemerdekaan, intelektual asal Mesir itu justru menggemakan kemerdekaan perempuan. Biasanya kata merdeka dilekatkan dengan suatu bangsa, kini malah dikait-kaitkannya dengan isu gender.
Pemikiran spektakulernya banyak ditentang, khususnya kalangan tradisionalis yang gigih mempertahankan dominasi lelaki. Ada dua buku Qasim Amin yang kontroversial; Tahrir Al-Mar'ah (Kemerdekaan Wanita) dan Al-Mar'ah Al-Jadidah (Wanita Baru). Karyanya itu menegaskan bukan Islam yang mengekang perempuan, melainkan disebabkan faktor budaya yang melekat pada diri kaum muslimin itu sendiri.
Nasaruddin Umar pada buku Ketika Fikih Membela Perempuan menerangkan, bahwa Qasim Amin menyimpulkan bahwa sesungguhnya Al-Qur'an memberikan posisi yang cukup tinggi kepada perempuan, namun tradisi kuat yang berasal dari luar Islam menjadi salah satu faktor penyebab perempuan Islam terbelakang.
Bahkan menurutnya, umat Islam mundur karena separuh dari umatnya, yaitu kaum perempuan, mengalami kemunduran. Untuk memajukan umat Islam tidak ada pilihan lain kecuali memberi kemerdekaan kepada perempuan.
Berabad-abad perjuangan perempuan itu telah berlangsung dramatis hingga, di zaman modern ini, kaum hawa telah meraih berbagai pencapaian menakjubkan. Nah, pada era digital yang serba online ini, masihkah tema kemerdekaan wanita menjadi seksi untuk dibicarakan?
Dapatkah dicerna perjuangan bersimbah darah Cut Nyak Din, Siti Manggopoh, dan lainnya ketika generasi milenial lebih akrab dengan tingkah polah artis-artis Korea, dan berupaya keras menjadi imitasi dari wanita negeri ginseng pula?
Mampukah menemukan makna kemerdekaan di balik sosok Kartini, Rahmah El-Yunusiyah, dan lainnya yang memperjuangkan kemerdekaan dengan pencerdasan kaum hawa, ketika generasi digital melihat hidup ini untuk dinikmati bukannya diperjuangkan?
Alhasil, kita tidak cukup melihat bagian yang manis-manisnya saja, karena menyibak kenyataan pahit jauh lebih mendesak dilakukan. Tidak tahu makanya bisa keliru!
Janganlah kita membanggakan angka tanpa melihat kualitas, faktanya 30 persen perempuan di parlemen lebih banyak berguna hanya untuk voting belaka. Mereka di antaranya; artis pengeruk suara, atau sekadar memenuhi ambang batas kewajiban partai.
Kabar gembiranya mulai banyak perempuan menang pilkada. Sayangnya, begitu ditelusuri, perempuan itu semacam penerus dinasti suaminya yang tidak boleh maju lagi atau terpenjara karena kasus. Padahal yang kita mendambakan perempuan yang menjadi pemenang karena kualitas dirinya.
Begitu bicara kualitas, maka daftar masalahnya menjadi panjang berkali-kali lipat. Namun, akan menjadi lebih panjang jika yang dibahas itu berbagai persoalan yang mengekang kemerdekaan kaum hawa lainnya.
Apakah hak-hak perempuan benar-benar telah terlindungi? Sementara itu negara kita masih pecah rekor dengan angka tinggi kematian ibu hamil dan melahirkan yang dianggap bagian dari masa lalu belaka.
Pada usia lebih muda, kaum hawa pun telah terpuruk. Betapa banyak remaja putri yang mati karena aborsi ilegal? Di antara mereka diperbudak oleh narkotika dan sebagiannya melacurkan diri, lalu dikejar-kejar petugas.
Kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, entah itu di tempat kerja, di lingkungan masyarakat, bahkan di rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, kita jadi tahu dong, betapa perjuangan kemerdekaan perempuan itu masih menarik untuk dibahas.
Penjajah itu bukan lagi bangsa asing yang datang menodongkan senjata, melainkan kelengahan kita dalam membiarkan masalah-masalah krusial terus menekan makna kemerdekaan diri sendiri.
Human Right! Itulah yang melandasi perjuangan kemerdekaan perempuan yang telah dikumandangkan oleh Rasulullah dan menjadi amanah bagi kita bersama. Karena prikemanusiaan hendaknya memang nyata tanpa pilih kasih, apalagi pilih gender.
KOMENTAR ANDA