Ilustrasi diam/Freepik
Ilustrasi diam/Freepik
KOMENTAR

DIAM seringkali dianggap sebagai kebiasaan sederhana tetapi memiliki dampak besar terhadap kehidupan manusia. Diam bukanlah pertanda kelemahan, melainkan gambaran dari terkumpulnya energi.

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi dalam bukunya Menuju Insan Ilahi (2015: 243) menuliskan, di antara faedah dan manfaat diam adalah menyimpan cadangan energi di benak manusia untuk pekerjaan-pekerjaan positif dan berguna. Orang yang banyak berbicara, aktivitas-aktivitas otaknya menjadi tidak teratur dan kekuatan berpikir serta berkonsentrasinya juga akan berkurang.

Ketika seseorang berusaha sedikit berbicara dan menghindar dari ucapan yang tidak berguna, energi berbicara digunakan untuk bisa meraih pengetahuan dan kesadaran yang lain. Manusia yang banyak berbicara biasanya memiliki pikiran dan kesadaran yang sedikit. Sebab, ia disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat sehingga terkadang ia tidak sadar apa yang diucap.

Berbeda dari mereka yang memiliki pikiran dan kesadaran yang lebih kuat, ia akan mengontrol diri dan menimbang-nimbang ucapan. Orang yang diam memiliki kemampuan menghimpun cadangan energi, sehingga sangat mungkin baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan positif. Ketika diam, orang tersebut memperoleh ruang yang lebih besar dalam kekuatan diri.

Sementara, orang yang cenderung banyak berbicara seringkali menemui tantangan dalam menjaga keteraturan aktivitas otak. Dalam keadaan tersebut, kekuatan berpikir dan konsentrasi dapat terganggu, mengakibatkan penurunan efisiensi dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Diam, sebagai kegiatan yang menuntut kesunyian dalam berbicara, memberikan kesempatan bagi otak untuk fokus dan meregenerasi energi. Diam bukanlah tanda ketidakaktifan atau kurangnya komunikasi, melainkan kebijaksanaan dalam berbicara. Dengan menyimpan cadangan energi mental, manusia dapat mengoptimalkan potensi pikiran dan kesadaran mereka.

Oleh karena itu, menghargai nilai diam sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas berpikir dan meningkatkan kesadaran adalah langkah yang bijaksana. Karena sesungguhnya, sangatlah beruntung orang yang diam.

Sa'id Hawwa dalam buku Mensucikan Jiwa Tazkiyatun Nafs (1998: 470) menjelaskan, jika Anda bertanya apa sebabnya diam memiliki keutamaan demikian besar? Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah karena banyaknya penyakit lidah, seperti salah ucap, dusta, ghibah, namimah, nifaq, berkata keji, debat, terlibat dalam kebatilan, bertengkar, ikut campur urusan orang, memalsukan, menambah, mengurangi, menyakiti makhluk, dan menyingkap berbagai “aurat.”

Penyakit yang banyak ini sangat mudah dan ringan meluncur dari lidah, terasa manis di dalam hati, dan memiliki berbagai dorongan dari tabiat dan setan. Bahkan orang yang melibatkan diri di dalamnya jarang sekali mampu menahan lidahnya.

Keterlibatan dalam berbagai penyakit lidah ini sangat berbahaya, oleh sebab itu keutamaan diam sangatlah besar. Di samping bahwa di dalam diam itu terkandung kewibawaan, konsentrasi untuk berpikir, zikir, dan ibadah, juga keselamatan dari berbagai tanggung jawab perkataan di dunia dan hisabnya di akhirat.

Keutamaan diam juga terletak pada kewibawaan yang terpancar melalui sikap yang bijaksana dan tenang. Diam bukanlah tanda kelemahan, melainkan simbol kekuatan kontrol diri. Jangan diabaikan bahwasanya diam juga menciptakan ruang untuk konsentrasi dalam bertafakur, zikir, dan ibadah. Dalam kesunyian, seseorang dapat menemukan kedamaian batin dan menguatkan simpul-simpul spiritualnya.

Diam bukan hanya sekadar ketiadaan perkataan, tetapi juga suatu bentuk refleksi dan introspeksi yang mendalam. Ini adalah momen untuk mendengarkan suara batin, merenungi perbuatan-perbuatan, dan mendekatkan diri pada kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Keutamaan diam tidak hanya terletak pada menghindari penyakit lidah, tetapi juga pada kemampuan untuk mencapai keselamatan rohani. Dengan merenung dalam keheningan, seseorang dapat menemukan kedamaian batin, menguatkan energi, dan menjaga diri dari dosa-dosa lisan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Oleh karena itu, diam bukanlah kelemahan, melainkan kebijaksanaan yang menyelamatkan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur