Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SEMULA suami itu kaget mendengar usulan cemerlang istrinya. Dari iseng-iseng saja, ternyata ide sang istri mendatangkan rezeki besar. Keluarga itu mengisi Ramadan dengan kesibukan bisnis katering. Masjid-masjid hingga kantor-kantor yang menggelar buka puasa dan sahur, menjadi sumber rezeki yang tak terduga. 

Sepuluh malam terakhir, keluarga kian sibuk, sebab katering yang lain sudah banyak tutup. Lelaki itu semakin menggenjot keluarga, para kerabat, handai taulan bekerja pagi-siang-malam, menyukseskan bisnis dadakannya. 

Hasilnya mengejutkan, uang mengalir demikian besar. Puasa pun sama sekali tak terasa haus dan lapar, karena mereka supersibuk. 

Di sisi lain, nikmat Ramadan menghilang. Tiada lagi kesyahduan makan sahur bersama, lenyap sudah keindahan berbuka sekeluarga, karena anak-anak sudah diguyuri banyak uang mencari menu takjil masing-masing. Salat taraweh terlewatkan, tilawah Al-Qur’an terabaikan, iktikaf pun tak terpikirkan. Bahkan tidur pun ia nyaris tak pernah lagi. Dari sore sampai malam hingga subuh, telepon terus berdering menanyakan pesanan.

Nun jauh di lubuk hatinya, lelaki itu merasa ada yang gersang. Batinnya menjerit kencang. Rasanya dulu Ramadan lebih indah, sekarang hambar saja?

Kini, secara dramatis, Sang Suami memutuskan untuk menghentikan bisnis katering, juga usaha lain. Ketatnya persaingan usaha membuat permintaan menurun, kondisi pun kian pelik. Pandemi sudah berlalu, tetapi bisnis tidak kunjung pulih. 

Kondisi berat tidak membuat keluarga tersebut patah arang. Sang Suami itu mengajak keluarganya untuk benar-benar menikmati ibadah Ramadan. Mereka ingin memperbaiki diri dari kondisi tahun-tahun sebelumnya.

Hasilnya mengagumkan, sekeluarga dapat tersenyum menikmati datangnya rasa lapar dan dahaga. Mereka langsung merenung, beginilah yang dirasakan oleh kaum miskin. 

Keluarga tersebut menjadi lebih bisa bersyukur. Alangkah indahnya masa-masa berbuka bersama. Betapa romantisnya saat suami dan istri memasak sahur bersama. Dia berhasil mengajak keluarganya iktikaf di sepuluh malam terakhir. Serunya, seluruh anggota keluarga berhasil khatam Al-Qur’an.

Tetapi, ada juga yang terasa memilukan hati. Menu buka puasa dan sahur mereka menjadi amat sederhana. Saat lebaran tinggal hitungan beberapa hari lagi anak-anak murung, tak ada baju baru, jajan lebaran, shopping persiapan hari raya, jalan-jalan, atau kemewahan lainnya. 

Setiap rezeki yang Allah limpahkan sudah cukup untuk hidup. Tetapi, mana ada nafsu yang merasa puas. Jika nafsu yang menjadi panglima, maka tiada yang sempurna, karena yang tampak hanyalah serba kekurangan. 

Sikap sederhana dalam hidup akan menyelamatkan kehidupan itu sendiri. Kita menyelamatkan diri kita dari berbagai tuntutan atau ambisi yang pada akhirnya hanya menambah beban hidup. Manusia jauh lebih membutuhkan ketenangan dibandingkan limpahan harta benda.

Sikap sederhana akan menjadikan kita kaya dalam makna sesungguhnya. Kesederhanaan membuat kita merasa cukup. Sejatinya kesederhanaan itu sendiri yang menjadi kekayaan.

Itu menjadi sempurna berkat hadirnya rasa syukur. Kita bersyukur masih diberi rezeki, tak melulu berupa harta benda, juga kekayaan hati, kesehatan yang prima dalam ibadah, dan sebagainya.

Syukur itu menyelamatkan kita dari kesombongan. Syukur itu menyelamatkan kita dari kufur nikmat. Syukur itu menyelamatkan jiwa kita dari kematian hati akibat kegelisahan yang panjang.

Membuat Keseimbangan

Seseorang yang masuk hutan tanpa persiapan akan mudah menyimpulkan hutan sebagai tempat yang menyeramkan. Saat melihat pohon-pohon tinggi, ia ketakutan. Ketika berhadapan dengan hewan-hewan, ia lari pontang-panting. Lalu ia tersandung akar kayu dan terhempas di batu. Dia tak dapat apa-apa dari pengalaman masuk hutan.

Seseorang yang masuk hutan dengan persiapan matang, maka ia mendapatkan banyak hal di sana. Dia membawa kamera dan berhasil mengabadikan pemandangan indah serta hewan-hewan unik. Dia membawa pulang akar kayu yang bisa diolah jadi perabot. Dia menggosok batu di sana yang ternyata menjadi batu akik yang mahal.

Begitulah gambaran orang yang memasuki Ramadan. Tanpa persiapan, dia tak akan mendapatkan apa-apa, melainkan kesusahan. Lain halnya yang matang persiapan, mendapatkan pahala, bisa beribadah, memperoleh rezeki.

Keseimbangan menjadi kunci terakhir yang perlu kita jelaskan di sini. Ramadan memang cuma sekali setahun. Bulan suci berlimpah pahala dan keberkahan haruslah dimaksimalkan. Jangan sampai kita sekeluarga kehilangan indahnya Ramadan.

Namun, keseimbangan jelas diperlukan, sebab keluarga juga makhluk hidup yang memiliki kebutuhan. Tanpa mengabaikan ibadah Ramadan, kita juga perlu bergiat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi mencari nafkah termasuk ibadah yang besar pahalanya.

Seperti kisah pembuka, boleh jadi di bulan Ramadan rezeki terbuka sangat lebar. Dengan jurus keseimbangan, kita tidak perlu kehilangan ibadah Ramadan. Kita bisa berbagi rezeki dengan pihak-pihak lain yang diajak bekerja sama.

Allah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)

Ayat ini berada persis setelah Al-Qur’an menjelaskan perintah berpuasa. Hikmahnya, Ramadan bukanlah untuk menyusahkan, melainkan memudahkan manusia dalam mendapatkan hidup yang terbaik.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur