Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

ADA banyak jenis kebebasan yang didamba manusira seiring hadirnya Ramadan. Karyawan menuntut kebebasan dari tumpukan beban kerja, penundaan jam masuk dan memajukan jam keluar kerja, kalau perlu sebulan penuh ini terbebas dari himpitan tugas. Tujuannya, agar ibadah puasa tak menghadapi cobaan berat.

Sejumlah organisasi menggelar demo agar Ramadan bebas dari maksiat. Tuntutan ini seperti menjadi rutinitas tahunan, seolah-olah kebebasan dari noda dan dosa itu hanya diwakili satu bulan belaka.

Manusia memang merindukan kebebasan, terlebih bagi orang yang merasa hidupnya penuh himpitan dan kungkungan. Namun, tidaklah seragam cara pandang manusia dalam menafsirkan kebebasan. 

Bagi sebagian pihak, bisa saja Ramadan dipandang sebagai bulan pengekangan. Gara-gara Ramadan justru banyak yang terlarang; jadwal makan minum, bergaul suami istri, dan sebagainya. Puasa Ramadan membuat yang halal (misalnya hubungan intim pasutri) menjadi haram, apalagi yang jelas-jelas haram. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, bebas artinya lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa). Tetapi kebebasan akan memakan orang bebas jika ia tidak pandai memaknai kebebasan itu secara bijaksana. Ramadan hadir berbarengan dengan rangkaian aturan hingga larangannya, sesungguhnya merupakan cara Allah agar kita memahami kearifan dalam menggunakan kebebasan.  

Segala pembatasan yang dijadikan aturan berpuasa merupakan pendidikan terhadap cara manusia memaknai kebebasan itu sendiri. Ramadan mengajarkan kebebasan yang paling manusiawi. Di atas segala perlindungan atas hak asasinya, manusia itu punya tanggung jawab untuk menggunakan kebebasan dalam bingkai keadilan.

Pengendalian terhadap kebebasan memang tidak mudah. Sebenarnya bukan hal yang terlalu berat menahan lapar haus selama berpuasa, tapi bukan pula mudah mengikhlaskan hati untuk dibatasi, merelakan nafsu untuk dikendalikan.

Sebelum memasuki Ramadan, umat Islam Nusantara punya tradisi baik dengan saling bermaafan. Artinya, ada pengakuan atas keteledoran menggunakan kebebasan pribadi hingga kita pernah menyakiti hak-hak orang lain. Dengan minta maaf, kita berusaha menyucikan kealpaan dalam penggunaan kebebasan tersebut dan menjalani Ramadan sebagai masa training pengendalian diri. 

Diri yang terkendali merupakan pribadi unggulan. Dia akan memandang dunia penuh persahabatan yang indah. Hanya dengan pengendalian yang manusiawi inilah kebebasan bisa menghadirkan kemaslahatan dan keadilan bagi segala manusia bahkan alam semesta.

Memang ada banyak manusia yang menolak dibatasi dan tidak jarang pula menggunakan kebebasannya dalam batas yang tiada. Apabila semua pihak memperturutkan selera nafsunya belaka, akibatnya yang terjadi justru konflik sosial. 

Kalau pun dia berhasil berbuat apapun sebebas-bebasnya, manusia jenis ini tak akan memperoleh kebahagiaan. Hatinya akan menjadi ruang hampa tanpa makna.

Ternyata bahagia itu bukan dengan arogansi kebebasan personal, sebab al-barakah ma'a al-jamaah; keberkahan itu ada dalam kebersamaan.

Pada dimensi kreativitas, kebebasan individu punya peran spektakuler yang bisa melahirkan banyak kejutan. Namun, sadarilah bahwa dunia ini bukanlah milik sendiri. Manusia diajarkan menghormati kebebasan orang lain sehingga kebebasan dirinya dihargai pula. Atas segala hal, Islam tak mencabut kebebasan tetapi mengarahkannya pada timbangan yang paling manusiawi. 

Sebelum diwajibkan atas umat Islam, umat-umat terdahulu juga diperintahkan Allah berpuasa. Tujuannya agar bumi yang mereka huni berselimutkan kedamaian, karena puasa yang dikerjakan menghadirkan konsep pengendalian diri yang membuahkan kearifan memaknai kebebasan.

Sayangnya, segala kisruh yang mengotori bumi ini berpangkal dari cara manusia memberi dirinya makna kebebasan. Berbagai ibadah yang melatih pengendalian belum memberi kesan baik atas kebebasannya.

Dan kali ini, Ramadan hadir lagi. Akankah kita berhasil memaknai kebebasan dalam bingkai pengendalian? 

Kebebasan bisa berujung kebablasan bila tanpa pengendalian. Setiap makhluk memang mendambakan kebebasan, tetapi tidak ada satupun yang benar-benar bebas. Dengan hikmah berpuasa, insyaallah kita akan memperoleh makna kebebasan yang berkeadilan.(F)




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur