KOMENTAR

MASYARAKAT dunia saat ini menyaksikan dua 'kutub' cuaca yang jauh berbeda.

Di Pakistan, salah satu tempat dengan suhu terpanas di dunia, kini dilanda banjir dahsyat akibat kombinasi hujan monsun lebat dan gletser yang mencair. Sejauh ini tercatat 1.100 orang meninggal dunia dan jutaan lainnya terdampak. Sepertiga negara itu berada di bawah air.

Negara lain yang juga mengalami banjir hebat adalah Korea Selatan.

Sementara itu gelombang panas dan kekeringan telah mencapai puncaknya di Eropa Barat, Amerika Serikat, juga China. Tak hanya kekurangan air, panen pun berkurang hingga mengakibatkan kenaikan harga pangan di seluruh dunia.

Panas ekstrem yang memecahkan rekor tercatat di Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris, dengan suhu melebihi 40 derajat Celcius untuk pertama kalinya. Bahkan, suhu mencapai 50 derajat Celcius terjadi di India Utara dan Pakistan—sebelum dilanda hujan monsun.

Andrew King, dosen senior Ilmu Iklim di The University of Melbourne, seperti dilansir CNA, menyatakan peristiwa cuaca ekstrem dapat terjadi pada waktu yang sama di tempat yang berbeda karena gelombang atmosfer berskala besar “gelombang Rossby” yang merupakan fenomena alami, seperti La Nina dan El Nino.

Dengan begitu banyak peristiwa cuaca ekstrem yang menyebabkan kematian massal dan masalah ekonomi dan lingkungan yang besar, ada baiknya mempertimbangkan apakah perubahan iklim dapat memperburuk peristiwa ini.

Perubahan iklim yang disebabkan manusia telah menghangatkan planet ini sekitar 1,2 derajat Celcius hingga saat ini dan menyebabkan beberapa jenis cuaca ekstrem menjadi lebih sering dan lebih intens, terutama gelombang panas ekstrem.

Penelitian juga menunjukkan perubahan iklim meningkatkan terjadinya gelombang panas simultan di belahan bumi utara, terutama karena pemanasan jangka panjang.

Perubahan iklim juga menggeser pola curah hujan yang mengakibatkan kekeringan yang semakin parah di beberapa daerah, seperti di sebagian besar Eropa barat.

Cuaca lebih ekstrem di tahun-tahun mendatang akan terjadi karena emisi gas rumah kaca global terus berlanjut pada tingkat yang mendekati rekor.

Bagaimanapun, dunia harus bersiap untuk kemungkinan suhu tinggi yang memecahkan rekor lebih lanjut di bulan, tahun, dan dekade mendatang.

Kita perlu melakukan dekarbonisasi dengan cepat untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa ekstrem di masa depan.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News