Betapa murninya keikhlasan Hajar dalam menaati perintah Ilahi, hingga dirinya tidak bertanya lagi tatkala mengetahui segala cobaan yang terbentang ini merupakan ujian dari Tuhan/ Net
Betapa murninya keikhlasan Hajar dalam menaati perintah Ilahi, hingga dirinya tidak bertanya lagi tatkala mengetahui segala cobaan yang terbentang ini merupakan ujian dari Tuhan/ Net
KOMENTAR

TIDAK ada ayat yang terang-terangan menyebutkan nama Hajar, bahkan sebutan ibu Ismail pun tiada.

Namun, begitulah Al-Qur’an memberikan hikmah bagi segenap umat manusia, tidaklah begitu penting nama kita tercantum, melainkan amalan adalah yang terpenting.

Para mufasir punya analisa yang menarik, surat Ibrahim ayat 37 dipercaya sebagai gambaran dari dahsyatnya perjuangan dan pengorbanan Hajar, yang kemudian hari menjadi poin penting dari syariat haji hingga kurban. Tidak banyak lho perempuan yang dari dirinya berpangkal suatu syariat. Dengan demikian Hajar adalah tokoh sejarah yang tidak boleh diabaikan.

Kisahnya bermula dari padang pasir nan tandus di negeri sepi sunyi tanpa kehidupan secuil pun, dan di sanalah Hajar dan bayinya Ismail ditinggalkan oleh suami tercinta. Kok tega?

Ternyata masalahnya bukanlah tega atau tidak.

Imam Ibnu Katsir dalam buku Kisah Para Nabi (2011: 251-252) menceritakan berupa dialog mengharukan:

Kemudian Nabi Ibrahim berpaling untuk meninggalkan mereka kembali ke negeri Syam, namun ibunda Ismail tetap mengikutinya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, hendak pergi kemanakah kamu, apakah kamu tega meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia atau apapun di sini?”

Hajar terus mengulang pertanyaannya, namun Nabi Ibrahim tetap tidak meresponsnya. Lalu Hajar pun berkata, “Apakah Allah memerintahkanmu untuk berbuat seperti ini?”

Nabi Ibrahim menjawab, “Benar.”

Lalu Hajar berkata, “Baiklah kalau demikian adanya, kamu boleh pergi sekarang, karena jika Allah yang menghendaki maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.”

Setelah cukup jauh berjalan, maka Nabi Ibrahim akhirnya berbalik ke belakang dan melihat ke tempat yang ditinggalkannya itu dari kejauhan. Ia memanjatkan doa untuk istri dan anak yang ditinggalkannya, kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi seraya berkata, surat Ibrahim ayat 37, yang artinya, “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Betapa murninya keikhlasan Hajar dalam menaati perintah Ilahi, hingga dirinya tidak bertanya lagi tatkala mengetahui segala cobaan yang terbentang ini merupakan ujian dari Tuhan. Meski tanpa persiapan yang memadai, Hajar tetap optimis dengan berbekal tawakal.

Mari kita berbicara dengan memakai kata “seandainya”. Ya, seandainya Hajar menolak tinggal di gurun panas tandus itu, seandainya Hajar tidak mampu bertahan hidup di sana, apakah yang akan terjadi?

Entahlah! Tidak ada yang tahu pasti, apakah Ka’bah tetap akan berdiri atau Mekah masih ada dan sedahsyat ini perkembangannya, dan yang patut ditanyakan, entah bagaimana pula jadinya rangkaian ibadah haji serta kurban. Hanya Allah Swt. yang Maha Tahu segalanya, kita hanya bisa menyibak hikmahnya.

Dan yang kita ketahui adalah apa yang tersurat dalam sejarah, setelah ditinggal oleh suaminya, Hajar benar-benar menghadapi tantangan yang teramat berat untuk dipikul sendirian oleh pundak perempuan.

Imam Ibnu Katsir (2011: 252) menguraikan, lama kelamaan air itu pun habis, hingga membuat Hajar kehausan dan juga anaknya, karena air susu Hajar telah mengering. Ia memutuskan untuk pergi dari tempat itu karena tak kuasa lagi mendengar anaknya yang terus menangis. Lalu Hajar sampai di bukit Shafa. Ia berdiri di atas bukit itu dan memandang sekelilingnya untuk mencari seseorang yang dapat membantunya, namun ia tidak melihat siapapun di sana.

Kemudian ia turun dari bukit itu, dan ketika sampai di bawah ia mengangkat lengan bajunya dan berlari kecil seperti orang yang tengah kelelahan. Lalu ia pun sampai di bukit Marwa dan menaikinya, lalu ia berdiri di atas bukit itu dan memandang sekelilingnya untuk mencari seseorang yang dapat membantunya, namun lagi-lagi ia tidak melihat siapapun di sana.

Kemudian Hajar bolak-balik di kedua bukit itu sebanyak tujuh kali untuk melakukan hal yang sama. Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda, “Itulah alasan disyaria'tkan Sai antara dua bukit itu (bagi orang yang berhaji atau umrah).”

Apabila jamaah haji benar-benar meresapi perjuangan Hajar, niscaya akan merasakan ibadah Sai yang menggetarkan hati. Karena di masa itu Hajar bukan saja butuh kekuatan tenaga bolak-balik antara Shafa dan Marwa, melainkan dibarengi dengan keperihan hati seorang ibunda yang berjuang demi hidup mati bayinya.

Ingatlah, Sai bukan sekadar kegiatan berlari-lari kecil, melainkan hakikatnya tentang pengorbanan cinta.
Dan Allah Swt. tidak pernah menyia-nyiakan hamba yang dicintai-Nya. Hajar memang gagal mendapatkan air, meski sudah mondar-mandir bersimbah keringat berkelindan air mata. Namun, Tuhan menyediakan dengan cara yang ajaib, hentakan kaki mungil Ismail menerbit mata air Zamzam. Hajar bersyukur dan putranya pun selamat.

Dimana ada air, di sana pula lahir penghidupan dan peradaban. Kemudian berbagai kafilah pun berdatangan dan menetap di sekitar Zamzam. Saat Nabi Ibrahim datang, terkejutlah ia melihat orang-orang telah ramai bermukim di sana. Hingga kini tempat yang dirintis Hajar telah menjadi kota besar yang teramat penting di dunia, Mekah namanya.

Rupanya sudah takdir Hajar menjadi istri dan ibu yang sarat dengan ujian berat. Bayi yang dibelanya sepenuh jiwa raga hingga tumbuh sebagai anak yang sehat, akhirnya mesti direlakan untuk dikurbankan atas nama ketaatan.

Zaitunah Subhan dalam bukunya Al-Qur'an dan Perempuan (2015: 396) menceritakan:
Ketika umur Ismail menjelang remaja, Ibrahim mendapatkan wahyu melalui mimpinya agar menyembelih putranya. Suatu perintah yang sangat berat untuk dilaksanakan.

Hal ini dikisahkan di dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 102, yang artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”




Tahukah Keutamaan Malam Lailatulqadar?

Sebelumnya

Diperbolehkan Tidak Berpuasa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tafsir