KOMENTAR

HIJRAH itu epik yang melampaui sekat ruang atau pun waktu. Nilai-nilai kepahlawanan di dalamnya akan senantiasa hidup, dan dari itulah setiap kita perlu berhijrah, entah itu lahir apalagi batin. Tanpa hijrah, hidup kita bagaikan air tergenang, lambat laun akan membusuk dan menjadi sarang bibit penyakit.

Syaikh Muhammad Sa'id Mursi dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menyebutkan, nama lengkapnya adalah Ummu Kultsum binti Uqbah. Ia merupakan saudara perempuan Usman bin Affan dari pihak ibu. Ia juga merupakan wanita pertama yang hijrah menuju Madinah dari kabilah Hadnah Hudaibiyah.

Dan Ummu Kultsum menanggung luar biasa beratnya tantangan berhijrah. Ini adalah hijrah, bukan piknik! Muslimah ini mengharungi tandusnya padang pasir, hingga menemukan orang yang memberinya pertolongan dan perlindungan. Namun, dua saudaranya yang masih musyrik mendatangi Madinah, menuntut agar dirinya dikembalikan ke Mekkah.

Sebagaimana yang tercantum dalam buku Nisa Min ‘Asri Nubuwwah  karya Ahmad Khalil Jam’ah, Ummu Kultsum menceritakan:

Suatu hari aku pergi ke daerah pedalaman tempat kerabatku berada. Aku tinggal di sana tiga atau empat malam. Kemudian aku kembali ke keluargaku lagi, mereka tidak berprasangka apa-apa dengan kepergianku ke daerah pedalaman.

Aku mengumpulkan bekal perjalanan. Aku pergi meninggalkan Mekkah seakan-akan hendak menuju ke daerah pedalaman seperti biasanya. Ketika orang-orang yang mengiringiku pulang, muncullah seorang laki-laki dari Khaza’ah dan berkata, “Kemana engkau hendak pergi?”
Kukatakan, “Apa masalahmu dan siapakah engkau?”
Ia menjawab, “Lelaki dari Khaza’ah.”

Ketika ia menyebutkan Khaza’ah, aku merasa tenang karena Khaza’ah telah masuk ke dalam wilayah pemerintahan Rasulullah dan terikat perjanjian dengan beliau. “Aku akan menemani engkau hingga masuk kota Madinah.”

Ia datang dengan seekor unta untuk aku kendarai hingga akhirnya kami tiba di Madinah. Ternyata ia adalah teman yang baik, semoga Allah memberinya balasan yang baik pula.  

Kaum muslimin menyambut gembira, tetapi Nabi Muhammad dalam posisi amat dilematis.

Kehadiran Ummu Kultsum membuat beliau jadi serba salah. Pasalnya, Rasulullah baru saja membuat perjanjian damai Hudaibiyah dengan pihak Quraisy, yang salah satu poinnya kewajiban Nabi mengembalikan siapapun yang melarikan diri berhijrah ke Madinah.

Ibnu Hisyam dalam buku Sirah Nabawiyah menerangkan, pada masa gencatan senjata itulah Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah menemui Rasulullah.

Tidak lama kemudian kedua saudara lelakinya, Imarah bin Uqbah dan Walid bin Uqbah menghadap Rasulullah dan minta supaya Ummu Kultsum dikembalikan kepada mereka, sesuai dengan perjanjian damai yang disepakati oleh beliau dan pihak Quraisy di Hudaibiyah.  

Dengan demikian beliau harus memulangkan kembali Ummu Kultsum ke Mekkah, sementara di sana dirinya berpotensi mengalami penyiksaan nan pedih.

Ummu Kultsum berkata, “Wahai Rasulullah, aku melarikan diri kepada engkau dengan agamaku. Aku memohon agar engkau melindungiku dan tidak mengembalikanku kepada mereka sehingga mereka menyiksa dan menyakitiku. Aku tidak memiliki ketahanan menghadapi siksaan.”

Pada kondisi demikian genting datanglah pembelaan dari Allah, terhadap Ummu Kultsum. Hal ini seiring dengan turunnya surat Al-Mumtahanah ayat 10, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka).”

Sekalipun dibela oleh Allah dengan turunnya ayat Al-Qur’an, akan tetapi Ummu Kultsum juga mesti melalui ujian. Hijrah bukan perkara main-main, perlu diketahui lebih dulu niat yang sebenarnya.

Bagaimanakah Ummu Kultsum menghadapi ujian dari Rasulullah sebagaimana amanat dari ayat sebelumnya? Ujiannya ini tidak gampang, tak bisa mencontek apalagi memelas iba.

Begini Ummu Kultsum memberikan jawaban ujiannya, “Demi Allah aku tidak keluar berhijrah karena kebencian kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah karena benci kepada suatu negeri dan suka kepada negeri yang lain. Demi Allah, aku tidak keluar demi mencari dunia. Demi Allah, aku tidak keluar berhijrah melainkan karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Dia pun lulus ujian, karena niatnya berhijrah benar-benar tulus.

 




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur