WORK from home berarti setidaknya meeting online melalui aplikasi Zoom, Google Meet dan sebagainya lima hari seminggu. Di satu sisi, kita merasa senang karena tidak harus pergi ke luar rumah dan bisa menghindari perjumpaan dengan orang banyak.
Di sisi lain, terlalu sering memandang wajah sendiri di layar gadget ternyata bisa memiliki dampak yang kurang menyenangkan, bahkan membahayakan. Terutama bagi kita yang tidak percaya diri.
Ketidakpercayaan diri tersebut bisa mengakibatkan atau sebaliknya, diakibatkan oleh Body Dysmorphic Disorder (BDD), yaitu suatu gangguan kejiwaan dengan gejala fokus pada kekurangan penampilan.
Bagi orang dengan BDD, meeting online menjadi sesuatu yang sangat menyiksa. Dia sulit fokus pada konten meeting karena terlalu sibuk membenarkan tata cahaya, angle kamera, hingga touch up makeup berkali-kali demi terlihat memukau di layar gadget. Baginya, dia selalu tidak terlihat baik di layar.
Ini bisa menjadi mengganggu karena sifatnya live hingga tidak bisa diedit seperti foto-foto yang kita unggah ke media sosial. Bayangkan betapa tersiksanya menatap wajah sendiri selama berjam-jam jika kita tidak suka dengan penampilan sendiri.
Dokter spesialis kesehatan jiwa menjelaskan bahwa BDD adalah pikiran yang terus-menerus (obsessive thought) mengenai ketidaksempurnaan bentuk tubuh—dan paling banyak di daerah wajah. Pengidap BDD diduga juga mengalami gangguan sistem saraf dan serotonin pada otak.
Mengutip Healthline, di antara tanda seseorang mengidap BDD adalah selalu mencari-cari kekurangan tubuh, kepercayaan diri rendah hingga menghindari kontak sosial, terlalu sering bercermin atau sebaliknya—menghindari cermin, juga kurang konsentrasi saat di sekolah atau kantor.
BDD bisa dialami siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Orang dewasa hingga anak remaja. Penyebabnya pun beragam, bisa karena faktor keturunan memberi bentuk tubuh yang tidak diinginkan, body shaming yang membekas dan menjadi trauma, hingga kelainan pada otak.
Padahal yang dipikirkan tidak selalu benar. Ada yang memang memiliki cacat pada bagian wajah, ada yang memiliki kekurangan, ada yang merasa memiliki kekurangan padahal tidak.
Setiap orang bisa berbeda-beda menyikapi BDD. Misalnya jika merasa memiliki bentuk hidung tidak sempurna, tidak mancung misalnya, ada yang merasa cukup dengan trik makeup saat tampil di depan umum, ada pula yang merasa sangat tertekan hingga memilih operasi plastik.
Operasi plastik untuk memperbaiki struktur bagian wajah yang rusak atau cacat sah-sah saja dilakukan. Namun ketika seseorang berkali-kali minta dioperasi karena selalu merasa kurang dalam penampilannya, kondisi tersebut membutuhkan konseling dengan psikiater. Dia tidak menyadari bahwa terlalu banyak mengubah bentuk wajah bisa membuat seseorang kehilangan jati dirinya.
Nah, jika kepercayaan diri mulai terkikis akibat meeting online setiap hari, kita bisa melakukan 5 langkah ini sebagai pencegahan BDD, mengutip pernyataan psikolog sekaligus ahli body dysmorphia Hilary Weingarden dan Ben Buchanan kepada Vogue berikut ini.
#Menghalau pikiran negatif. Kita mesti objektif melihat potensi diri dan selalu bersyukur atas pencapaian kita dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Itula diri kita yang sesungguhnya. Bagaimana tampilan fisik kita hanyalah bagian kecil dari siapa diri kita.
#Melatih fokus pada inti pembicaraan. Ketika mulai disibukkan dengan memperbaiki penampilan saat work calls, kita harus mencoba untuk kembali fokus pada materi dan poin-poin penting yang dibahas. Kita juga harus berusaha fokus melihat bos atau rekan kerja yang sedang memberi presentasi.
Sesekali gunakan Post-it note untuk mengganti self-view atau mematikan self-view. Mungkin kita akan ditegur, tapi itu menjadi satu cara untuk berhenti memandangi diri sendiri.
#Mengurangi waktu memandangi diri sendiri. Kita harus segera mengurangi intensitas swafoto, bercermin, juga mengurangi pertanyaan kepada orang lain tentang penampilan kita. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu untuk fokus pada penampilan fisik saja. Masih banyak hal menarik yang bisa kita kerjakan.
#Memelihara healthy skepticism saat berselancar di media sosial. Sudah ada penelitian mengatakan bahwa semakin banyak waktu digunakan untuk berselancar di media sosial, semakin kita merasa tidak puas dengan hidup kita sendiri—terlebih lagi terhadap body image kita.
Penting untuk bersikap skeptis dan objektif terhadap foto-foto yang beredar di media sosial. Kita tentu bisa mengenali apakah itu foto asli atau foto hasil edit. Jangan lekas iri melihat penampilan orang lain. Kita harus tahu, 30 menit menggunakan ponsel menjadi momen menggembirakan, tapi 30 menit setelah itu kegembiraan memudar sedikit demi sedikit.
#Mencari pertolongan sesegera mungkin. Jika kita merasa sudah sangat terganggu dengan pikiran terhadap wajah dan tubuh kita, tak ada salahnya membuat janji dengan psikolog atau psikiater untuk konsultasi. Jika terbukti ada indikasinya, terapi perilaku kognitif dan obat antidepresan bisa menjadi bagian dari pengobatan BDD.
Jangan biarkan pandemi melahirkan masalah baru lagi bagi kita. Jangan sampai Zoom, Google Meet, dan sebagainya menggerogoti kepercayaan diri kita. Kita justru harus mampu memanfaatkan hal tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan performa diri dengan menyampaikan banyak gagasan kreatif dan solusi brilian. Ingat, pandemi bukan penghalang bagi kita untuk bersinar.
Selamat nge-Zoom dan tetap tersenyum!
KOMENTAR ANDA