Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

CUACA ekstrem berupa hujan lebat disertai angin kencang menjadi hal yang harus diwaspadai di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat diimbau untuk selalu siaga.

Prediksi seputar cuaca ekstrem tersebut kemungkinan besar akan menjadi gambaran cuaca kita hingga beberapa bulan ke depan. Seperti telah disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo bahwa beberapa wilayah di Indonesia berpotensi mengalami cuaca ekstrem selama pancaroba tahun 2020. Hal itu berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Masalah jelang penghujung tahun ini bukan lagi hanya tentang kemungkinan bencana banjir, melainkan juga tentang Covid-19. Menurut anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah, sangat penting untuk mencegah terjadinya banjir. Karena banjir tidak hanya mendatangkan banyak penyakit tetapi juga menyebabkan banyak orang harus mengungsi ke tempat pengungsian sementara.

Berkumpulnya banyak orang di tempat pengungsian itu tentu menyulitkan masing-masing untuk menjaga jarak juga sulit menjalankan protokol kesehatan lainnya. Dikhawatirkan pengungsi banjir akan menjadi klaster baru Covid-19. Karena itu perlu ada imbauan, perhatian khusus dan peraturan ketat di tempat pengungsian untuk meminimalkan penyebaran Covid-19.

Pandemi Covid-19 yang merupakan wabah juga bisa dikategorikan sebagai bencana yang melanda suatu bangsa. Karena itulah, dengan pengalaman Covid-19 saat ini, pemerintah diharapkan sudah bisa menyusun kerangka sistem mitigasi bencana wabah penyakit.

PSBB dan protokol kesehatan 3M, penyediaan fasilitas kesehatan yang lengkap dan seharusnya tidak perlu dipungut biaya, penyiapan dana darurat untuk penanganan wabah, penguatan ekonomi agar tidak mudah goyah, juga berbagai peraturan dan hukuman yang bertujuan mendisiplinkan masyarakat menjadi bagian dari mitigasi pandemi. Termasuk juga penanggulangan bencana alam di masa pandemi. Dengan demikian, kita nanti bisa lebih kuat secara psikologis, sosial, dan ekonomi untuk memerangi wabah penyakit.

Karena itulah Satgas Penanganan Covid-19 tidak hanya turun ke masyarakat untuk memberi informasi seputar pandemi tapi juga bagaimana mengantisipasi bencana alam sejak dini. Peringatan tentang perubahan cuaca yang ekstrem ini juga pernah disampaikan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Luhut Binsar Panjaitan kepada Kementerian Kesehatan, perwakilan BUMN, dan pengelola Wisma Atlet, Kemayoran.

Selama pancaroba berikut segala risiko yang mengintai, sudah siapkah mitigasi bencana kita untuk menghadapi bencana alam, terutama di tengah pandemi?

Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Di Jakarta misalnya, untuk pengendalian banjir yang banyak terjadi selama perubahan iklim, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta telah memprioritaskan percepatan pengerukan, pembebasan lahan, pemeliharaan pompa, juga pembuatan sumur resapan sejak bulan Maret 2020. Hal itu sesuai instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 tahun 2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim.

Saat ini ada 478 pompa dengan kondisi sekitar 2-3 persen di antaranya rusak. Tahun ini direncanakan datang tambahan 19 pompa mobile dan menambah 300 tambahan sumur resapan. Pembebasan lahan juga sudah masuk proses pembayaran, seperti di Kali Ciliwung, Jati Kramat, dan Kali Sunter. Setelah BPN menyatakan surat-surat warga lengkap, Pemprov segera membayar.

Sedikitnya 80 ribu personel dikerahkan dan tambahan ASN yang siap membantu pengendalian banjir selama 24 jam nonstop. Pasukan sudah berjaga di titik-titik rawan bila cuaca mendung.

Gubernur Anies Baswedan menyatakan ada dua indikator keberhasilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan banjir yaitu bila tidak jatuh korban dan banjir surut setelah enam jam.
Tidak hanya soal banjir dan tanah longsor yang banyak terjadi di musim hujan, Indonesia juga 'dekat' dengan letusan gunung berapi dan tsunami karena faktor geografi. Namun hingga kini, Indonesia belum memiliki sistem mitigasi bencana yang baik.

Indonesia Minim Mitigasi

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Potensi Desa 2019 menyebutkan beberapa data terkait kesiapan mitigasi bencana. Kabupaten Pengunungan Arfak di Papua menempati urutan pertama kabupate/ kota dengan mitigasi bencana terburuk.

Data juga memperlihatkan bahwa dari setiap 15 kelurahan/ desa di seluruh Tanah Air, baru ada satu kelurahan/ desa yang mempunyai sistem peringatan dini bencana. Dari setiap 33 kelurahan/ desa hanya satu kelurahan/ desa yang memiliki perlengkapan keselamatan.

Tidak layaknya sistem mitigasi di Indonesia bisa dilihat di Pulau Jawa yang dihuni 150 juta penduduk. Pulau yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan ekonomi ini merupakan salah satu pulau terpadat di dunia dengan tingkat kepadatan penduduk 1175 jiwa/km2. Sebanyak 27 persen kelurahan/ desa di Pulau Jawa rawan diterjang tsunami. Namun baru dua persen dari total keseluruhan kelurahan/ desa di Jawa yang mempunyai early warning system.

Data tersebut juga memperlihatkan bahwa dari setiap 20 kelurahan/ desa, hanya satu desa yang memiliki perlengkapan keselamatan lengkap mulai dari perahu karet hingga tenda pengungsian dan masker. Dan hanya delapan persennya yang mempunyai jalur evakuasi.

Daerah yang terbilang cukup baik dalam persiapan mitigasi bencana adalah Bali. Sebanyak 86 persen kelurahan/ desa telah memiliki sistem peringatan dini bencana alam, 20 persennya dilengkapi perlengkapan keselamatan, dan seperempatnya sudah membangun jalur evakuasi warga.

Bali juga memanfaatkan kearifan lokal menjadi langkah mitigasi bencana. Contohnya, tenget yaitu penandaan wilayah yang dianggap berbahaya atau angker. Dari kacamata mitigasi bencana, tenget adalah peringatan terhadap wilayah tidak cocok untuk ditinggali karena rawan bencana.

Contoh sederhana lainnya adalah warga desa bisa bermusyawarah untuk membangun jalur evakuasi secara mandiri. Dengan demikian, sosialisasi juga lebih mudah dilakukan dan terbangunlah kesadaran untuk mitigasi bencana.

Pengadaaan peralatan lengkap untuk mitigasi bencana memang melibatkan biaya yang tidak murah. BNPB pernah mengusulkan 16,7 triliun rupiah untuk mitigasi pengurangan risiko tsunami secara komprehensif. Kita mengetahui banyak alat pendeteksi dini tsunami yang rusak karena pemeliharaan yang terbengkalai. Di tahun 2018, BNPB juga menganggarkan 15 triliun dana siap pakai untuk mitigasi gunung meletus. Tapi usulan berbagai anggaran itu tidak pernah terealisasi.

Semoga saja data survei BPS tahun lalu itu sudah berubah. Kita berharap saat ini sudah dilakukan perbaikan alat deteksi dini bencana, penambahan perlengkapan keselamatan, serta pembangunan jalur evakuasi dan tempat pengungsian yang layak huni di banyak daerah.

Dalam keadaan darurat, kita melihat banyak organisasi dan komunitas sosial yang aktif membantu para korban bencana alam dengan mengirim relawan yang siap bekerja. Mulai dari menggalang dana dan sumbangan barang-barang kebutuhan korban bencana, menolong para korban dari tempat kejadian bencana, membuat dapur umum di tempat pengungsian hingga penanggulangan trauma psikologis. Mereka adalah para relawan yang bekerja tulus untuk membantu sesama anak bangsa.




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News