Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BANYAK pasangan menunda pernikahan karena pandemi. Rasanya kurang lengkap menikah tanpa resepsi meriah yang dihadiri sahabat dan kerabat, begitu mereka berargumen.

Mungkin mereka lupa bahwa sakinah tak datang dari megahnya pelaminan, gaun rancangan desainer terkenal, riasan wajah hasil goresan tangan MUA langganan selebriti, juga dekorasi pesta bertabur bunga mewangi.

Bukankah banyak cerita, sepasang sejoli menggelar pesta pernikahan di ballroom hotel bintang lima, dishare ramai-ramai ke media sosial oleh mereka yang hadir, kemudian pengantin baru itu berpisah hanya dalam hitungan bulan. Pesta yang tadinya diwarnai senyum dan tawa bahagia berganti menjadi tangis penyesalan.

Karena sakinah tak datang dari meriahnya pesta, sakinah juga (seharusnya) tak berkurang oleh corona.

PBB memang menyebut adanya peningkatan angka 20% kasus KDRT di berbagai negara selama pemberlakuan lockdown. PBB bahkan menyebut KDRT sebagai “shadow pandemic” alias pandemi bayangan yang membayangi infeksi Covid-19.

Di India, Brazil, juga di Amerika, komunitas lokal yang terdiri dari konselor dan sukarelawan siaga membantu para perempuan yang terintimidasi pasangan mereka.
 
Kesulitan ekonomi yang sangat terasa di awal pandemi membuat stres para kepala keluarga hingga kerap melampiaskan ketakutan dan kemarahan kepada anak istri mereka. Peraturan stay at home yang berlaku saat lockdown kian menambah sulit posisi perempuan.

Di sisi lain, banyak pasangan yang mampu mengambil hikmah dari pandemi. Corona justru menambah mesra hubungan suami istri.

Gairah yang redup mulai menyala. Komunikasi yang tadinya macet, mulai terasa lancar. Pasangan suami istri menyadari betapa buruknya kehidupan rumah tangga mereka selama ini karena dikalahkan beragam kesibukan.

Pandemi corona memberi waktu bagi suami dan istri untuk menarik napas, menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan mendalam dan penuh kesadaran.

Pandemi menciptakan ‘ruang’ bagi suami istri untuk saling memahami dan saling mendukung. Karena mereka sadar hanya dengan kekuatan itulah rumah tangga mereka dapat bertahan dari kerasnya pandemi.

Jadi mengapa menunda pernikahan padahal tak seorang pun tahu kapan pandemi Covid-19 dapat ditaklukkan?

Pernikahan adalah ibadah yang menjadi sunnah Rasul. Pernikahan hakikatnya adalah ijab dan kabul. Tidak ada “pesta” dalam daftar syarat sah pernikahan. Menikah justru bisa menjadi satu hikmah pandemi yang tak akan terlupakan.

Untuk apa menunda hal baik (pernikahan) atas alasan yang tidak diperintahkan oleh Islam?
Sebagai Muslim, kita mengetahui urusan jodoh, rezeki, dan maut adalah qadarullah. Kita tidak tahu kapan maut kan menjemput, apakah karena Covid-19 atau karena sebab lainnya.
Ada manusia meninggal saat terlelap di tempat tidur. Ada yang meninggal setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit, sementara orang yang bolak-balik menjalani perawatan di rumah sakit masih bertahan.

Maka selama tak ada halangan syar’i yang menghadang, sebaiknya bersegeralah menjemput rezeki melalui pernikahan. Yakinlah Allah akan memberi kemudahan. Selama rukun nikah dan syarat sah nikah terpenuhi, menikahlah. Sahabat dan kerabat bisa ‘hadir’ secara virtual dan memberikan doa bagi pasangan pengantin.

Lalu dari mana datang sakinah?

Sakinah bisa datang dari pandemi. Karena pandemi mengajarkan kita untuk memaknai hidup yang lebih bersahaja. Pandemi mengubah sudut pandang kita tentang urusan dunia yang tak ada habisnya. Pandemi membawa kita pada tatanan normal baru yang menjungkirbalikkan banyak hal—dari mustahil menjadi mungkin.

Apa yang dulu kita anggap ideal, pandemi membuatnya menjadi tidak ideal, juga sebaliknya. Dulu, pesta meriah dihadiri ribuan tamu adalah hal ideal. Sekarang, kerumunan itu melanggar protokol kesehatan dan tamu yang hadir bakal ditangkap.

Seorang ibu berkelakar ingin mencarikan jodoh untuk putrinya agar segera menikah. Dengan begitu, si ibu tak perlu mengeluarkan uang puluhan juta untuk menggelar resepsi. Berhemat tanpa mengurangi kesakralan ijab kabul.

Hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang tidak menyulitkan umatnya. Mahar dalam pernikahan adalah contohnya. Tidak diperkenankan seorang perempuan meminta mahar yang sangat besar (mahal) hingga menyulitkan calon pasangannya.

Jika memang sudah siap lahir dan batin untuk membina rumah tangga, bersegeralah. Apalagi jika sebelumnya sudah memesan gedung lalu dibatalkan karena pandemi. Tak perlu menunda lagi. Jelanglah sakinah.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur